Ramadan dan Budaya Makan-Makan Orang Aceh

BERITA, OPINI175 Dilihat

Oleh:  Hafizhuddin Islamy*

 

 

ACEH merupakan sebuah provinsi dengan banyak keunikan. Keunikan itu dapat ditemukan dalam beragam hal, mulai dari tradisi adat istiadat, nilai-nilai keislaman yang masih tertanam kokoh pada diri penduduknya, hingga kekhususan untuk menjalankan kehidupan berdasarkan syariat Islam.

Hal-hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi provinsi dengan julukan Serambi Mekkah ini. Belum lagi jika membahas pariwisatanya yang tidak kalah dengan Bali. Di antara sekian banyak hal unik yang dimiliki Aceh, salah satu keunikannya adalah antusias masyarakat Aceh dalam hal “makan-makan”. Kebiasaan ini tentunya pula menjadi satu dari sekian banyak amalan yang bisa dilakukan selama Ramadan. Berbagi makanan di bulan Ramadan pasti akan sangat berguna, terutama bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.

Dengan berbagi makanan, masyarakat ikut merasakan bagaimana keadaan hidup orang lain dan bisa menjadi perantara bagi seseorang bisa berbuka puasa dengan kenyang tanpa harus takut akan kelaparan. Saling berbagi. Memberi makan kepada orang lain adalah sebuah kebiasaan positif yang sudah umum dilakukan oleh masyarakat Aceh kepada seluruh tamu atau kerabat yang berkunjung ke rumahnya. Seakan-akan menjadi sebuah aib jika tamu yang datang tidak diberikan makanan oleh pemilik rumah. Hal ini dilakukan untuk memuliakan tamu yang datang tersebut.

Filosofi memuliakan tamu yang diadopsi oleh masyarakat Aceh dalam interaksi sosial mereka bukan tanpa dasar. Aceh dikenal sebagai daerah dengan nilai-nilai Islam yang masih sangat kental di dalam kehidupan masyarakatnya. Sehingga memuliakan tamu sudah menjadi pemandangan biasa di rumah-rumah orang Aceh. Antusiasme masyarakat Aceh dalam memuliakan tamu tidak lepas dari nilai-nilai keislaman yang melekat erat dalam diri mereka. Sebab anjuran untuk memuliakan tamu terdapat di dalam hadis dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.”

Dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad, ada seorang perempuan mengeluh kepada perihal suami yang kerap kali membawa tamu ke rumahnya. Sayangnya Nabi tidak begitu merespons keluhan perempuan ini. Setelah beberapa waktu Rasulullah pun pergi berkunjung ke rumah suami istri tersebut dan berbisik ke suaminya bahwa aku adalah tamumu hari ini.  Kemudian Rasulullah berpesan kepada suami tersebut “Sampaikan kepada istrimu nanti ketika aku hendak pamit agar dia melihat ke pintu tempat aku keluar”.

Maka sang istri itu melihat Rasulullah keluar dari rumahnya dengan diikuti oleh binatang-binatang melata seperti kalajengking dan binatang-binatang berbahaya lainnya. Dari riwayat ini dapat kita pahami bahwa tamu yang datang membawa rahmat dan keberkahan dari Allah SWT. Mereka keluar dari rumah yang dikunjungi dengan membawa hal-hal buruk, kotor dan berbahaya yang ada di rumah tersebut.  Hal ini sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam riwayat sebelumnya. Inilah yang menjadi landasan dasar orang Aceh dalam memuliakan tamu hingga disediakan berbagai hidangan makanan.

Sebelum Islam datang ke Aceh, masyarakat Aceh memang sudah terbiasa dengan tradisi makan-makan. Bisa jadi salah satu faktor agama Islam bisa dengan mudah diterima oleh masyarakat Aceh karena masyarakat Aceh senang memberi makan orang lain. Sebab dalam sebuah hadis Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang suka memberi makan orang lain hatinya akan menjadi lembut. Jika dilihat lebih jauh, ada banyak tradisi di dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh yang berhubungan dengan makan-makan. Yang dibahas dalam tulisan ini hanya makan-makan dalam hal melayani tamu yang datang.

Padahal sebenarnya masih banyak lagi tradisi makan-makan seperti kegiatan perayaan maulid Nabi, tahlilan ketika ada yang meninggal dunia, acara turun tanah bagi bayi yang baru lahir dan masih banyak lagi, semua tradisi ini berhubungan dengan makan-makan. Banyaknya tradisi yang berkaitan dengan hal makan-makan ini memperlihatkan bagaimana senangnya masyarakat Aceh dalam hal berbagi dengan sesama. Dalam kehidupan sosial sehari-hari terutama untuk kaum laki-laki pasti sudah tidak asing lagi dengan orang-orang yang sering menawarkan makan dan minum terutama saat sedang duduk nongkrong di warung-warung kopi.

Terlepas dari hal itu hanya sekedar basa-basi atau dilakukan dengan maksud tulus dan serius. Beberapa orang kadang melakukan hal ini memang dengan maksud serius untuk memberikan makan minum kepada kawan atau orang dekatnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk terima kasih seseorang terhadap orang yang telah membantunya. Inilah cara orang-orang Aceh berterima kasih pada dasarnya. Oleh karena itulah di dalam bahasa Aceh tidak ditemukan padanan yang tepat untuk mengartikan kata terima kasih.

Terima kasih yang dalam bahasa Aceh kita sebut “Terimeng Geunaseh” hanyalah sebuah penyesuaian kata dari bahasa Indonesia yaitu terima yang diartikan terimeng dan kasih yang diartikan geunaseh. Cara orang Aceh berterima kasih salah satunya adalah dengan memberikan makanan kepada orang yang telah membantu mereka. Sedangkan sebagian lainnya ketika menawarkan makanan kepada orang lain di warung kopi atau tempat-tempat makan juga sebagai bentuk basa-basi dalam interaksi sosial. Akan kurang pas rasanya ketika duduk dengan banyak orang tapi hanya makan sendiri tanpa menawarkan yang lain untuk ikut makan.

Walaupun hal ini dilakukan hanya sebatas untuk basa-basi saja, namun inilah tata krama orang Aceh ketika makan di tempat-tempat keramaian. Namun dalam praktiknya, beberapa orang sering salah mengartikan maksud basa-basi dalam hal menawarkan makanan ini. Beberapa orang dengan mudahnya langsung menerima tawaran makan tersebut tanpa paham bahwa hal itu hanyalah sekedar basa-basi belaka.  Beberapa orang kadang berpikir bahwa hal itu bukan basa-basi melainkan ajakan serius untuk makan. Pemahaman masyarakat dan kepekaan harus ditingkatkan untuk bisa membedakan mana ajakan makan serius dan mana yang cuma basa-basi.

Tentu akan menjadi tidak etis ketika tawaran makan yang sekadar basa-basi disalahartikan. Bisa saja orang yang menawarkan makan tersebut sedang dalam kondisi ekonomi yang sulit dan akan berat baginya apabila harus menambah satu pesanan makanan lagi. Ketidakpekaan dalam menerima tawaran makan tentunya akan merusak tatakrama basa-basi ketika sedang makan.

Mungkin jika hal yang ditawarkan memiliki nilai ekonomi sedikit lebih rendah dibandingkan makanan seperti kopi atau sejenis minuman lainnya maka tidak ada salahnya juga jika diterima. Keindahan dalam memuliakan tamu dengan menyediakan makanan kepada mereka adalah sebuah hal baik yang harus terus dipertahankan dalam kearifan lokal masyarakat Aceh.

Ditambah lagi dengan budaya saling tawar makanan atau minuman ketika sedang duduk-duduk santai di pelataran warung-warung kopi yang ada di Aceh. Dengan menjalankan hal ini semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang berhati lembut, sebagaimana yang disebut oleh Rasulullah saw di dalam hadis sebelumnya.

Hal-hal seperti memberi makan orang lain ini harapannya dapat terus dilakukan secara konsisten bahkan di luar Ramadan sekalipun. Jika hal ini bisa terus dijalankan, maka akan menjadi suatu amalan yang sangat bermanfaat bagi si pelaku amalan serta tentunya bermanfaat terhadap orang-orang di lingkungan sekitar.*** *)

 

 

Penulis adalah alumni fakultas tarbiyah dan keguruan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *