Subsidi LPG Bocor di Level Agen dan SPBE

OPINI68 Dilihat

Oleh : Salamuddin Daeng 

 

BANYAK pihak menyalahkan Menteri ESDM Bahlil terkait antrean LPG 3 kg di Jakarta beberapa waktu lalu. Antrean terjadi karena kebijakan si menteri yang ingin memperkuat pendataan dengan cara menjadikan pangkalan sekaligus sebagai pengecer.

Namun kebijakan ini tidak didukung oleh pelaku bisnis LPG 3 kg sehingga muncullah aksi antrean di berbagai tempat. Sebetulnya ini tidak perlu terjadi jika pelaku bisnis membantu pemerintah.

Namun ini sudah terjadi dan tidak perlu disesali oleh Bahlil. Tapi menjadi bahan evaluasi bahwa kebijakan itu tidak didukung oleh pelaku bisnis LPG. Ini juga menunjukan bahwa pelaku bisnis LPG sangat sakti, lebih sakti dari si menteri.  Baca Juga SPBE Ubah Wajah Layanan Pemerintah Jadi Lebih Modern

Pada bagian lain, para pembantu menteri dan BUMN, yang ditugaskan memegang monopoli pusat bisnis LPG, tidak memberikan informasi akurat kepada Bahlil. Tampaknya mereka juga tidak mendukung rencana si menteri.  Bisnis LPG adalah salah satu bisnis energi dengan pasar pasti. Keuntungannya dijamin oleh pemerintah. Menurut data BPS 2021, persentase rumah tangga berdasarkan bahan bakar untuk keperluan memasak sebanyak 83,36 persen menggunakan LPG. 0,76 persen menggunakan listrik dan 2,78 persen masih menggunakan minyak tanah.

Jadi ini adalah bisnis bahan bakar untuk memasak yang pasti akan menghasilkan cuan melimpah bagi pelakunya. Namun bisnis LPG adalah anomali besar. Satu sisi konversi minyak tanah ke LPG berhasil, namun di sisi lain, konversi atau LPG ke kompor induksi gagal.  Memasalkan LPG sebagai bahan bakar adalah sesutu yang anomali. Satu sisi bahan bakar bagi rumah tangga untuk memasak berhasil disediakan. Sisi lain telah menghasilkan ketergantungan pada LPG impor dan subsidi yang membengkak.

Bayangkan subsidi LPG sekarang, jika LPG impor harganya adalah USD 650 dolar per ton saat ini, maka harga LPG per kilogram adalah Rp 10.700 dengan kurs saat ini.  Jadi harga LPG tabung melon minimal Rp 32.175 per tabung. Jadi setiap tabung di subsidi senilai Rp 19.425.  Dengan demikian, nilai subsidi setiap kilogram adalah Rp 6.475 per kilogram. Untuk menyubsidi 8 miliar ton LPG, negara mengeluarkna dana sebesar Rp 52 triliun, minimal, di luar pajak, pungutan lain, marjin SPBE, marjin agen dan margin pangkalan. Sehingga subsidi bisa mencapai Rp 117 triliun. Bukan itu saja masalah utamanya.

Adanya anomali yang lebih berbahaya yakni  terciptanya peluang korupsi sangat besar dalam rantai pasok LPG. Selisih harga antara harga LPG non subsidi yang mencapai 1,5 kali harga LPG subsidi 3 Kg. Keadaan ini mengakibatkan penyelewengan besar, yakni mengoplos LPG 3 kg menjadi LPG 5,5 kg dan LPG 12 kg.  Pemerintah gagal mendata jumlah LPG subsidi yang disalurkan ke masyarakat. Padahal caranya gampang. Pemerintah harus mendata secara akurat betapa tabung LPG 3 kg dan berapa tabung LPG 5,5 kg dan 12 kg yang ada di rumah rumah penduduk.

Dengan demikian maka akan ketahuan berapa jumlah LPG subsidi 3 Kg yang dioplos menjadi 5,5 kg dan 12 kg. Gampang sekali. Kata kunci dalam masalah ini adalah tidak mungkin LPG subsidi 3 Kg itu mencapai 97 persen dari total LPG yang diperdagangkan. Ini patut dicurigai ada pengoplosan besar-besaran dalam perdagangan LPG 3 kg. Akibatnya subsidi habis dicuri dalam rantai pasok perdagangan LPG.

Menteri Bahlil dibuat salah kaprah. Padahal masalah kebocoran subsidi LPG 3 kg itu sangat mungkin terjadi pada level yang lebih tinggi, yakni agen dan SPBE. Sepanjang jumlah tabung LPG 5,5 kg dan jumlah tabung LPG 12 kg tidak diketahui, maka pengoplosan LPG akan menjadi bisnis ilegal dengan keuntungan mencapai 25-30 persen dari subsidi LPG 3 kg.*** *)

 

 

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *