Budaya Membaca Buku Para Pemimpin Bangsa

OPINI47 Dilihat

Oleh: Alif Alqausar

 

SETIAP kebijakan dan langkah politik sebuah bangsa seharusnya didasarkan pada refleksi mendalam serta pertukaran ide yang luas atas fondasi intelektualisme. Inilah yang dilakukan oleh para pendiri bangsa seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan HOS Tjokroaminoto. Mereka adalah warga terpelajar yang menjadikan membaca, menulis, dan diskusi gagasan sebagai kebutuhan dasar.

Baru-baru ini tersiar berita tentang Prabowo Subianto, Presiden Indonesia, yang teranyar, di sela-sela kunjungan kenegaraannya, Presiden Indonesia, mengunjungi toko buku langganannya, Bahrisons Booksellers, di kawasan Khan Market, New Delhi, India. Berdiri sejak 1953, toko buku itu sangat populer di  New Delhi. Sebelumnya, pada November 2024, Prabowo juga mengunjungi Second Story Books di Washington DC, Amerika Serikat, untuk menambah koleksi bacaannya.

Dibesarkan dalam lingkungan akademik yang kuat, di bawah asuhan ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom terkemuka, Prabowo menjadi pembaca yang rajin. Ruang belajarnya dipenuhi buku-buku dari berbagai subjek, mulai dari ilmu politik hingga biografi sejarah. Kebiasaan membaca ini tidak hanya memperkaya pengetahuannya, tetapi juga membentuk kapasitas intelektualnya sebagai pemimpin.

Seorang pemimpin yang tidak memiliki kebiasaan membaca berisiko besar dalam pengambilan keputusan. Dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas dan perubahan cepat, pemimpin harus mampu memahami berbagai perspektif, menganalisis informasi, serta mempertimbangkan dampak dari setiap kebijakan.

Buku, baik dalam bidang sejarah, filsafat, sains, maupun ekonomi, menyediakan wawasan yang mendalam dan membantu pemimpin dalam merumuskan solusi berbasis pengetahuan. Rendahnya minat membaca tidak hanya berdampak pada kualitas kepemimpinan, tetapi juga pada kualitas komunikasi di ruang publik.

Seseorang yang tidak terbiasa membaca akan kesulitan menyusun argumen yang logis dan berbobot. Hal ini dapat terlihat dalam interaksi di media sosial, di mana rendahnya intelektualitas sering kali melahirkan kabar bohong, ujaran kebencian, dan opini dangkal yang tidak berbasis fakta. Bagi orang yang berpikiran maju, aktivitas membaca menjadi kebiasaan. Mereka membawa buku, majalah atau koran. Mereka mengisi waktu dengan membaca.

Mereka memahami bahwa membaca dapat mengembangkan imajinasi, karena orang yang gemar membaca dapat mengelaborasikan pikiran, dan kreativitas dari bahan bacaan, memperluas wawasan, dan menimbulkan pikiran kritis dan analisis mendalam terhadap suatu masalah. Dalam sejarah filsafat politik, Plato berujar tentang pernah menggagas konsep philosopher-king atau filsuf-raja, yakni pemimpin yang ideal karena memiliki kebijaksanaan serta pemahaman mendalam tentang etika dan keadilan.

Meskipun konsep ini mungkin terlalu ideal untuk diwujudkan dalam realitas, setidaknya seorang pemimpin harus memiliki kapasitas intelektual yang cukup untuk memahami kebutuhan rakyat serta mengambil keputusan adil dan bijaksana. Tantangan besar yang dihadapi bangsa ini adalah bagaimana membangun budaya literasi yang kuat di tengah era digital yang cenderung mendorong konsumsi informasi instan dan dangkal.

Data terkini dari UNESCO dan Kemenkominfo Indonesia menyebut indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Berarti, hanya 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.  Hasil ini menjadi indikasi literasi negeri yang tidak baik-baik saja. Upaya menumbuhkan kebiasaan membaca seseorang sangat tergantung pada lingkungannya. Sebagai contoh, Presiden Sukarno senang membaca karena tinggal di rumah Cokroaminoto.

Dia melahap banyak buku, baik koleksi Cokroaminoto atau buku yang ditulis oleh guru bangsa itu.  Ya, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan harus menjadi ujung tombak dalam membentuk kebiasaan membaca sejak dini. Dan literasi menjadi fondasi penting dalam membangun SDM unggul. Budaya baca dan belajar merupakan faktor esensial untuk mengetahui, menguasai, mentransmisikan, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Semakin tinggi penguasaan iptek, semakin tinggi pula kemampuan memproduksi barang dan jasa yang bermutu.  Tanpa budaya literasi yang kokoh, Indonesia akan kesulitan melahirkan generasi pemimpin yang visioner dan mampu membawa bangsa ini menuju kemajuan.

Sebagai rakyat, kita memiliki tanggung jawab untuk mendukung gerakan literasi dengan membangun kesadaran akan pentingnya membaca dan berpikir kritis.

Pemimpin boleh berganti, tetapi warisan intelektual yang kuat harus tetap dijaga agar Indonesia tidak kehilangan arah dalam perjalanan menuju bangsa yang lebih maju dan berdaulat. Pemimpin seperti Prabowo dapat menjadi contoh baik bagi masyarakat untuk gemar membaca. Dan jika kebiasaan itu menular pada semua pihak, bakal tercipta generasi melek literasi. Kebiasaan itu juga bakal melahirkan pemimpin masa depan yang visioner dan mampu membawa bangsa menyongsong Indonesia Emas 2045. *)

 

Penulis adalah mahasiswa komunikasi dan penyiaran Islam, fakultas dakwah dan komunikasi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *