Hadapi Tantangan Bonus Demografi Apa Yang Sudah Kita Siapkan?

OPINI122 Dilihat

Oleh: Miftahul Fahmi (Ketua SFATAR)

 

Aceh saat ini berada dalam era bonus demografi, di mana mayoritas penduduknya didominasi oleh kelompok usia produktif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sekitar 63,9% atau 280,55 ribu jiwa penduduk Aceh berada dalam rentang usia 15-59 tahun. Namun, sepertiga dari jumlah tersebut berada dalam kategori usia 15-24 tahun, yang memerlukan perhatian khusus. Data BPS juga mencatat bahwa 28,56% dari kelompok usia ini tidak sedang bersekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan—persentase tertinggi di Pulau Sumatra.

Kondisi ini menjadi tantangan serius yang tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga orang tua dan masyarakat secara luas. Slogan “Aceh Bangsa Teu Leubeh” seharusnya menjadi landasan dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan formal bagi generasi muda. Sejarah mencatat bahwa Aceh pernah menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan di Asia Tenggara.

Ulama besar seperti Syaikh Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala) telah berkontribusi dalam penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu, yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam berbagai bahasa di kawasan Asia Tenggara. Namun, di era modern ini, perhatian terhadap pendidikan belum sepenuhnya menjadi prioritas utama, sehingga diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak untuk mengatasinya.

Minimnya akses pendidikan tidak hanya berdampak pada kualitas sumber daya manusia, tetapi juga berkontribusi terhadap peningkatan kenakalan remaja dan angka kekerasan. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh tahun 2024 mencatat sebanyak 370 kasus kekerasan terjadi sepanjang tahun, menandakan bahwa kurangnya pendidikan memiliki dampak langsung terhadap perilaku sosial anak muda.

Ketua Sekretariat Forum Anak Tanah Rencong (SFATAR), Miftahul Fahmi, mengungkapkan bahwa dalam berbagai kegiatan edukasi yang dilakukan di sekolah, seperti program Silaturahmi Sikula (SIMILA) yang diinisiasi oleh DPPPA Aceh, ditemukan bahwa banyak siswa terlibat dalam geng motor dan berbagai perilaku menyimpang.

Seorang guru di salah satu sekolah menengah di Banda Aceh menyebutkan bahwa beberapa siswanya mengalami penurunan prestasi akademik akibat keterlibatan dalam geng motor. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebagian besar anak yang tergabung dalam geng tersebut merupakan Anak Tidak Sekolah (ATS), yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dalam sistem pendidikan.

Selain itu, dalam program FATAR Saweu Sikula, ditemukan bahwa banyak siswa menghadapi tantangan psikologis akibat kondisi keluarga yang tidak harmonis. Meskipun orang tua mereka tidak bercerai, pertengkaran yang terus-menerus di rumah menyebabkan gangguan psikologis yang berdampak pada perkembangan mental dan kemampuan belajar anak. Situasi ini menegaskan bahwa pendidikan dan lingkungan keluarga yang sehat menjadi faktor fundamental dalam membentuk generasi muda yang produktif dan berdaya saing.

Melihat kondisi ini, diperlukan sinergi antara pemerintah, tenaga pendidik, serta masyarakat untuk memastikan bahwa anak-anak Aceh mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Selain itu, edukasi mengenai pentingnya lingkungan keluarga yang kondusif dan perlindungan bagi remaja dari pengaruh negatif juga harus menjadi prioritas utama.

Untuk mengatasi tantangan ini, salah satu langkah yang dapat diambil adalah menghidupkan kembali budaya Romoeh Beut atau balai pengajian yang kini semakin memudar akibat perkembangan teknologi. Padahal, Romoeh Beut pernah menjadi pusat pendidikan agama dan nilai-nilai moral bagi anak-anak di desa. Dengan merevitalisasi sistem ini, anak-anak tidak hanya mendapatkan pembelajaran agama, tetapi juga wawasan tambahan terkait pendidikan formal, kesehatan, serta berbagai ilmu bermanfaat lainnya.

Selain itu, sinergitas antara Guree Beut (guru ngaji) dan pemerintah perlu diperkuat agar informasi yang diberikan tidak hanya terbatas pada ajaran agama, tetapi juga mencakup aspek pendidikan, kesehatan, serta pembangunan karakter anak. Dengan demikian, para remaja dapat memperoleh bekal ilmu yang lebih luas untuk menghadapi tantangan masa depan.

Aceh memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan bonus demografi ini menjadi momentum kebangkitan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, tanpa perhatian serius terhadap pendidikan dan perlindungan anak muda, bonus demografi ini bisa menjadi ancaman yang berujung pada meningkatnya angka pengangguran dan kriminalitas.

Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang kuat dari berbagai pihak agar generasi muda Aceh dapat tumbuh menjadi individu yang berdaya saing tinggi dan siap membawa perubahan positif bagi daerah dan bangsa.***

 

Penulis adalah Ketua Sekretariat Forum Anak Tanah Rencong (SFATAR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *