Mahasiswa Ilmu Hukum UNIS Tangerang, Minta Mendagri Tak Memantik Komplik Aceh-Sumut “Soal 4 Pulau di Aceh Singki”

BERITA18 Dilihat

BANDA ACEH – Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang asal Aceh, Irfadi, S.Pd.I., NL.P., CPM, mengecam kebijakan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)—yang dinilainya dapat memicu kegaduhan antara Aceh dan Sumatera Utara.

Menurut Irfadi, polemik alih administrasi empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ke wilayah Sumatera Utara merupakan bentuk kelalaian Pemerintah Pusat yang tidak sensitif terhadap dampak sosial dan politik di daerah.

“Kondisi di Aceh saat ini sangat kompleks. Pemerintah Pusat seakan lepas kontrol dalam menangani berbagai persoalan, termasuk koordinasi antar kementerian dan daerah. Jangan karena merasa berwenang, lalu mengabaikan harkat dan martabat pemerintah daerah,” ujar Irfadi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (8/6/2025)

Ia menyoroti terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Dalam keputusan itu, empat pulau yang sebelumnya tercatat masuk wilayah Aceh, yakni Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil), Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, kini dialihkan ke administrasi Provinsi Sumatera Utara.

“Ini bentuk kemunduran dalam menjaga kepercayaan rakyat Aceh. Pemerintah Pusat gagal memahami sensitivitas daerah dan kembali mengusik Aceh yang selama ini berusaha menjaga stabilitas,” tegas Irfadi.

Terkait klaim Gubernur Sumatera Utara yang menyatakan bahwa pihaknya tidak merebut empat pulau tersebut dan hanya mengikuti prosedur administrasi yang berlaku, Irfadi menilai pernyataan itu tidak cukup.

“Kalau memang tidak merebut, maka pemerintah harus menjelaskan dengan bahasa yang bisa diterima secara hukum dan adat. Siapa dalang di balik perubahan administrasi ini? Pemerintah Aceh harus tegas menyikapi, karena ini menyangkut kedaulatan wilayah,” katanya.

Irfadi mengingatkan agar Pemerintah Pusat tidak mencoba memantik konflik horizontal antara Aceh dan Sumatera Utara melalui kebijakan yang tidak transparan dan tanpa dasar yang kuat.

“Jangan pernah coba-coba meminta pembenaran atas hak dan kekuasaan yang bukan miliknya.

Meunyo bacut meu iseuk ateung blang, tatem meumat-mat parang (kalau sudah menyentuh yang hak, rakyat Aceh akan bergerak),” tegas alumni paralegal.

Ia juga meminta Pemerintah Aceh untuk mengambil langkah konkret dalam mempertahankan integritas wilayah sebagai daerah istimewa. Seluruh elemen masyarakat Aceh, katanya, harus bersatu dan mengawal persoalan ini hingga hak Aceh benar-benar dikembalikan.

“Nilai moral dan martabat bangsa Aceh sedang dipertaruhkan. Jangan sampai ada wilayah yang hilang begitu saja tanpa perjuangan,” pungkas Irfadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *