MaTA Nilai Tuntutan 13,5 Tahun Suhendri Terkait Korupsi BRA Terlalu Rendah

BERITA, DAERAH, HUKUM218 Dilihat

Acehupdate.net, BANDA ACEH – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai tuntutan 13 tahun 6 bulan penjara terhadap Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Suhendri, dan Zulfikar selaku Koordinator/Penghubung Ketua BRA, dalam kasus korupsi pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah untuk masyarakat korban konflik di Aceh Timur terlalu rendah.

Koordinator MaTA, Alfian, mendesak majelis hakim agar menjatuhkan hukuman yang lebih berat mengingat besarnya dampak sosial dan kerugian negara atas kasus tersebut yang mencapai Rp 15,3 miliar.

“Seharusnya jaksa menuntut lebih tinggi 20 tahun, bukan hanya 13,5 tahun. Karena kami melihat kasus ini tidak hanya sebatas kerugian keuangan negara, tetapi ada kerugian sosial yang sangat besar. Seharusnya masyarakat korban konflik sudah mendapat bantuan, ternyata sampai hari ini belum ada kepastian,” kata Alfian seperti dilansir JNN, Selasa, 25 Februari 2025.

Alfian menilai kasus ini merupakan bentuk korupsi paling jahat karena menggunakan modus fiktif. Menurutnya hukuman yang dituntut jaksa bahkan tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat korban konflik di Aceh Timur.

Tak hanya itu, dia juga mengkritik tren putusan Pengadilan Tipikor yang sering kali lebih rendah dari tuntutan jaksa. Menurutnya ini menimbulkan kesan lemahnya penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Aceh.

“Jika putusan hakim nanti lebih rendah lagi dari tuntutan jaksa, artinya ini ada masalah serius. Ada indikasi bahwa proses hukum dari level penyidikan hingga putusan pengadilan masih bermasalah. Jadi, lingkaran ini sebenarnya yang berpotensi bermain dengan kasus,” tuturnya.

MaTA meminta majelis hakim mempertimbangkan dampak sosial yang timbul akibat perkara korupsi di tubuh BRA ini.

“Karena yurisprudensi kasus sudah ada,” ujarnya  Sebelumnya, dalam surat tuntutan setebal 300 halaman untuk masing-masing terdakwa, JPU menyatakan bahwa Suhendri dan Zulfikar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya.

Keduanya dituntut 13,5 tahun penjara dan juga diwajibkan membayar denda masing-masing sebesar Rp 750 juta, dengan ketentuan apabila tidak mampu membayar, maka akan diganti dengan pidana 6 bulan kurungan. JPU juga menuntut Suhendri membayar uang pengganti sebesar Rp 9,2 miliar, dengan ketentuan apabila tidak mampu membayar, akan diganti dengan pidana 9 tahun penjara.

Sementara itu, Zulfikar diminta membayar Rp 1,6 miliar subsider 9 tahun penjara. Terdakwa lainnya, Zamzami, selaku peminjam perusahaan untuk pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah, dituntut pidana 11 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan. Zamzami juga dibebankan membayar uang pengganti senilai Rp 3,7 miliar subsider 5 tahun 9 bulan.

Muhammad selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus ini juga dituntut 9 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 250 juta subsider 4 tahun 6 bulan. Selanjutnya terdakwa Hamdani selaku Koordinator/Penghubung rekanan penyedia, dituntut 7 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 10 juta subsider 3 tahun 9 bulan. A

dapun Mahdi, selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dituntut 8 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 250 juta subsider 4 tahun 3 bulan. Keenam terdakwa dijerat dengan dakwaan primer Pasal 2 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam dakwaan, JPU mengungkapkan bahwa sembilan kelompok penerima manfaat mengaku tidak pernah mengajukan maupun menandatangani pengajuan hibah untuk program budidaya ikan kakap dan pakan rucah. Hal ini membuktikan bahwa program tersebut bersifat fiktif.

“Sembilan kelompok penerima manfaat itu direkayasa termasuk surat-surat, mereka tidak pernah mengajukan dan menandatangani pengajuan. Proses evaluasi dan monitoring hibah kepada semua anggota kelompok adalah palsu,” kata JPU dalam persidangan.

Dalam persidangan diketahui, kesembilan kelompok penerima manfaat ini diverifikasi oleh Suhendri tanpa melalui ketentuan dan mekanisme yang berlaku, sehingga menambah kuat dugaan jika kasus ini merupakan korupsi dengan modus fiktif. Persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim Ketua M. Jamil di Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh ini masih akan berlanjut dengan agenda pledoi dari para terdakwa, yang dijadwalkan berlangsung pada Jumat, 28 Februari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *