Katahati Institute: Implementasi Damai Aceh Belum Selesai

BERITA34 Dilihat

BANDA ACEH – Direktur Katahati Institute, Raihal Fajri, menilai implementasi damai Aceh tidak berujung dan belum selesai. Padahal periode waktu setelah penandatanganan nota damai antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005, telah berjalan dua dekade atau 20 tahun.

“Bukan setengah hati, tapi hana meu pat punca (belum selesai dan tidak mencapai ujung),” kata Raihal seperti dikutip AJNN, Jumat, 15 Agustus 2025.

Apa yang disampaikan Raihal bukan tanpa alasan. Dia kemudian merujuk pada momentum penandatanganan damai yang dilakukan, setelah hampir tiga dekade konflik bersenjata terjadi antara pemerintah Indonesia dan GAM di Aceh.

Saat itu, kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri perang dengan menandatangani sejumlah poin termasuk mengakhiri kekerasan, memberi amnesti bagi simpatisan GAM, dan merencanakan pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh. Selain itu, RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 silam juga sepakat menandatangani poin membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Dua dekade setelah penandatanganan butir-butir kesepakatan di Helsinki tersebut, damai di Aceh masih langgeng. Namun, beberapa janji besar dalam kesepakatan itu belum sepenuhnya terpenuhi.

“Pengadilan HAM belum kunjung direalisasikan dan KKR Aceh belum berjalan maksimal,” tulis Raihal via WhatsApp, memberikan contoh kesepakatan damai yang dianggap belum rampung.

Selanjutnya poin tentang mengadili pelaku pelanggaran HAM berat pada tahun 1976-2005 juga belum dilakukan. Begitu pula dengan poin kejahatan perang–yang menurut Raihal, “(juga) belum diatur secara nasional.”

Begitupun halnya dengan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang menjadi kewenangan Aceh, masih abu-abu. Dia bahkan mengatakan soal KEL dalam pembahasan revisi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh tidak dibunyikan secara spesifik.

Raihal turut menyorot nasib beberapa poin penting MoU Helsinki yang disepakati kedua belah pihak saat ini.

Poin penghentian konflik, salah satunya. Dalam poin tersebut disebutkan, GAM menyerahkan senjata untuk kemudian dihancurkan. Sementara TNI/Polri menarik pasukan non-organik dari Aceh.

“Kondisi terkini, bagaimana dengan penambahan batalyon?” tanya Raihal.

Seperti diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto baru saja meresmikan Brigade Infanteri Teritorial Pembangunan dan Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) di wilayah Kodam Iskandar Muda (IM), Aceh. Ada empat Batalyon baru yang dibentuk, yaitu Batalyon TP 85 di Aceh Timur, Batalyon TP 854 di Aceh Tengah, Batalyon TP 855 di Gayo Lues, dan Batalyon TP 856 di Nagan Raya.

Selain empat Batalyon, Presiden Prabowo juga meresmikan satu Brigade Infanteri TP di Aceh Tengah.

Padahal dalam nota damai tidak disebutkan kesepakatan itu berakhir dalam rentang waktu tertentu.

Selanjutnya tentang poin Otonomi Khusus (Otsus) yang juga disepakati dalam MoU Helsinki pada 20 tahun lalu. Dalam poin tersebut, RI sepakat memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintahan Aceh, membolehkan partai lokal ikut Pemilu, dan Aceh menggelar Pilkada langsung.

Namun, kenyataannya, pelaksanaan Pilkada di Aceh sempat berbenturan dengan UU Pemilu beberapa waktu lalu. Hal itu bahkan menyebabkan Aceh menunda pelaksanaan Pilkada yang seharusnya berlangsung pada tahun 2022 menjadi tahun 2024.

Selanjutnya tentang bagi hasil sumber daya alam. Dalam kesepakatan damai, pemerintah Indonesia sepakat hanya mendapat 30 persen hasil migas. Sementara Aceh mendapat 70 persen pendapatan minyak bumi dan gas (Migas) serta Sumber Daya Alam (SDA) lainnya.

Raihal turut meragukan poin ini telah dijalankan dengan maksimal. Lagipula menurut Raihal, hingga saat ini belum adanya audit independen yang kredibel untuk memastikan pembagian 70 : 30 tersebut benar-benar dijalankan sebagaimana MoU yang telah ditandatangani.

Begitu pula dari sisi poin penegakan HAM dan hukum, yang menurutnya belum berjalan maksimal. Dari kajian yang dilakukan Katahati hanya amnesti bagi tahanan politik dan narapidana politik yang berjalan, beberapa saat setelah damai disepakati. Sementara untuk KKR dan perlindungan HAM bagi korban konflik baru sekadar seremonial belaka.

Hal itu terbukti dengan adanya beberapa korban konflik yang hingga saat ini belum mendapat dana diyat seperti yang dijanjikan. Insiden teranyar bahkan sempat terjadi pemukulan terhadap panitia peresmian Rumoh Geudong di Pidie beberapa waktu lalu, yang diduga akibat salah satu korban konflik tidak mendapat haknya seperti janji pemerintah.

Tak hanya itu, poin reintegrasi mantan kombatan GAM juga dianggap belum selesai baik dari sisi bantuan ekonomi, sosial, tanah, dan lapangan kerja.

“Masih ada sengkarut terkait peruntukan lahan tersebut, yang sebagian masih dalam kawasan hutan lindung,” tegas Raihal.

Dalam kesepakatan damai, para pihak juga sepakat membentuk Komite Penyelesaian Klaim (CSC) di Aceh untuk menyelesaikan hak korban konflik. Komite ini akan terdiri dari perwakilan Pemerintah Indonesia, GAM, dan masyarakat sipil di Aceh. Namun menurut Raihal, kesepakatan ini juga tidak dilaksanakan walau usia damai telah masuk 20 tahun.

Atas semua permasalahan itu, Raihal menilai implementasi damai Aceh masih memiliki tantangan yang mengadang. Hal itu dimulai dari pengadilan HAM dan KKR Aceh yang belum optimal, pelaku pelanggaran HAM berat 1976-2005 yang belum diadili, kejahatan perang belum diatur hukum nasional dan keadilan bagi korban yang belum terlaksana.

Selain itu, tata kelola ekonomi dan SDA juga masih timpang, integrasi sosial yang belum solid, serta hubungan Aceh-Jakarta masih tarik ulur juga dianggap menjadi tantangan dalam keberlanjutan damai.

“Damai bukan hanya berhentinya peluru, tapi hadirnya keadilan dan pemulihan bagi korban. Dua puluh tahun perdamaian Aceh adalah pencapaian besar, tetapi perjalanan menuju damai yang utuh masih terus kita jaga,” pungkas Raihal.***

 

Sumber: Ajnn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *