Jamaah Haji Aceh Terima Layanan Buruk di Tanah Suci, Ungkap Kondisi Memprihatinkan!

BERITA11 Dilihat

MEKKAH— Kondisi pelayanan terhadap jamaah haji Indonesia khususnya asal Aceh tahun ini menuai sorotan tajam. Sejumlah laporan jamaah dari Tanah Suci menyebutkan bahwa banyak jamaah, terutama yang berusia lanjut, mengalami keterlantaran selama puncak pelaksanaan ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).

Jamaah yang seharusnya mendapatkan layanan khusus karena faktor usia dan kesehatan, justru tampak tidak terurus. Bahkan, skema tanazul (pemulangan lebih awal bagi jamaah sakit atau lansia) dan murur (pengganti wukuf dengan hanya melintas di Arafah) yang selama ini menjadi solusi alternatif dalam manasik haji, disebut tidak dijalankan secara optimal.

“Jamaah tua dianggap murur, tapi tidak ada penanganan. Mereka dibiarkan begitu saja, tidak ada yang mengatur atau mendampingi secara resmi. Tanazul pun seolah hanya nama, tidak terlihat implementasinya di lapangan. Akhirnya kami saling bantu sendiri,” ungkap salah seorang jamaah haji Aceh yang menyampaikan kondisi memprihatinkan tersebut kepada Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, lewat pesan WhatsApp (WA), Sabtu (7/6/2025).

Situasi ini diperparah oleh ketiadaan koordinasi dari pihak syarikah—perusahaan penyedia layanan haji yang biasanya bekerja sama dengan pemerintah Arab Saudi untuk mengatur logistik, transportasi, dan akomodasi jamaah.

Sejumlah jamaah menyampaikan bahwa tidak terlihat adanya aktivitas syarikah dalam menangani kelompok-kelompok lansia atau jamaah yang membutuhkan bantuan.

“Sepertinya pemerintah Indonesia belum membayar atau belum menjalin kontrak dengan syarikah secara tuntas. Tidak ada petugas syarikah yang mengurus logistik. Tenda-tenda tidak siap, air dan makanan terlambat, bahkan petugas haji sendiri tampak kebingungan,” ungkap jamaah haji Aceh dalam pesan tertulis yang dikirimkan ke Alfian MaTA.

Salah satu pelanggaran paling serius terjadi saat pergerakan jamaah dari Arafah ke Muzdalifah. Dalam tata cara haji, mabit (bermalam) di Muzdalifah merupakan salah satu wajib haji.

Namun, berdasarkan kesaksian jamaah, sebagian dari mereka langsung dibawa ke Mina, tanpa singgah di Muzdalifah sama sekali.

“Ini fatal. Jamaah seharusnya mabit di Muzdalifah meski hanya sebentar. Tapi beberapa bus langsung menuju Mina. Kami tidak tahu apakah ini karena kurangnya bus, atau memang tidak ada pengaturan. Yang jelas, ini bisa berdampak pada keabsahan ibadah mereka,” kata jamaah haji yang tergabung dalam kloter Aceh.

 

Kondisi di Mina: Tidak Manusiawi dan Tidak Syar’i

 

Di Mina, tempat jamaah menjalani ritual lempar jumrah selama tiga hari, kondisi yang dihadapi jamaah Aceh disebut jauh dari layak. Bukan hanya soal minimnya fasilitas dan keterlambatan makanan, tetapi juga penempatan tenda yang mencampurkan jamaah laki-laki dan perempuan dalam satu area, yang secara hukum syariat jelas tidak dibenarkan.

Tenda-tenda yang semestinya terpisah menurut jenis kelamin dan kelompok kloter, tampak tidak tertata.

Banyak jamaah perempuan merasa tidak nyaman dan bahkan takut tidur dalam tenda yang hanya disekat seadanya, berdampingan dengan jamaah laki-laki dari rombongan lain.

“Kami perempuan merasa tidak aman. Tidak ada pengaturan tenda khusus. Seharusnya dipisahkan. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi soal aturan agama,” ujar salah satu jamaah haji perempuan asal Aceh .

Kondisi ini diperburuk dengan minimnya kehadiran petugas lapangan yang bertugas mendampingi jamaah.

Beberapa jamaah bahkan menyebut tidak pernah melihat keberadaan petugas haji Indonesia dalam beberapa momen krusial, seperti saat perpindahan dari Arafah ke Muzdalifah, dan saat kedatangan di Mina.

Koordinasi antar kloter pun nyaris tidak berjalan. Akibatnya, para jamaah yang berusia lanjut dan kurang memahami prosedur menjadi kelompok yang paling rentan mengalami keterlantaran.

Situasi ini memunculkan desakan dari berbagai pihak agar Kementerian Agama Republik Indonesia segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan haji tahun ini, khususnya dalam hal pelayanan terhadap jamaah lansia dan kelompok rentan.

Sejumlah pengamat haji juga mendesak DPR RI untuk segera memanggil Menteri Agama dan mengungkap sejauh mana kesiapan teknis, kontrak dengan syarikah Saudi, serta alokasi anggaran yang diperuntukkan bagi kenyamanan jamaah Indonesia, termasuk dari Aceh.

“Ini bukan hanya soal pelayanan buruk. Ini menyangkut keselamatan jiwa, kehormatan jamaah, dan keabsahan ibadah mereka. Jika pemerintah lalai, maka harus bertanggung jawab,” tegas Alfian

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Kementerian Agama Republik Indonesia.

Sementara itu, para jamaah di Mina masih berjuang menyelesaikan ibadah dalam kondisi terbatas. Solidaritas antar jamaah menjadi satu-satunya kekuatan yang membuat mereka tetap bertahan.

Ibadah haji merupakan perjalanan spiritual yang berat dan sakral. Setiap tahun, jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia bertemu di Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Namun ketika manajemen pelaksanaan tidak tertata, maka yang seharusnya menjadi momen suci dan penuh hikmah, justru berubah menjadi pengalaman pahit yang menoreh luka — fisik, batin, dan spiritual.

Kondisi jamaah haji Aceh tahun ini menjadi catatan penting yang tidak boleh diabaikan. Pemerintah wajib hadir, bukan hanya secara simbolik, tetapi nyata dalam pelayanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *