BANGKOK – Korban jiwa menyusul bentrokan antara tentara Thailand dan Kamboja bentrok di sepanjang perbatasan antara negara mereka terus bertambah. Hingga Kamis (24/7/2025) malam, eskalasi tersebut menyebabkan 14 warga sipil tewas.
Kedua belah pihak menembakkan senjata kecil, artileri dan roket, dan Thailand juga melancarkan serangan udara. Pertempuran terjadi di setidaknya enam wilayah, kata juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand Surasant Kongsiri, sehari setelah ledakan ranjau darat di sepanjang perbatasan melukai lima tentara Thailand dan menyebabkan Bangkok menarik duta besarnya dari Kamboja dan mengusir utusan Kamboja ke Thailand.
Ini konflik militer yang jarang terjadi antara negara-negara anggota ASEAN, meskipun Thailand pernah berselisih dengan Kamboja sebelumnya mengenai perbatasan dan juga pernah mengalami pertempuran sporadis dengan tetangganya di barat, Myanmar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak kedua belah pihak “untuk menahan diri secara maksimal dan mengatasi masalah apapun melalui dialog,” menurut wakil juru bicara PBB Farhan Haq.
Thailand dan Kamboja saling menyalahkan atas bentrokan pada Kamis, dan menuduh warga sipil menjadi sasaran.
Di Bangkok, Kementerian Kesehatan Masyarakat mengatakan seorang tentara Thailand dan 13 warga sipil, termasuk anak-anak, tewas sementara 14 tentara dan 32 warga sipil lainnya terluka.
Menteri Kesehatan Masyarakat Somsak Thepsuthin mengutuk apa yang disebutnya sebagai serangan terhadap warga sipil dan rumah sakit sebagai pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional dan Konvensi Jenewa.
“Kami mendesak pemerintah Kamboja untuk segera menghentikan tindakan kriminal perang tersebut, dan kembali menghormati prinsip hidup berdampingan secara damai,” ujarnya.
Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai mengatakan pertempuran itu berdampak pada empat provinsi. Kementerian Dalam Negeri diperintahkan untuk mengevakuasi orang-orang setidaknya 50 kilometer.
Di Kamboja, beberapa ratus penduduk desa pindah dari rumah mereka di dekat perbatasan ke kedalaman sekitar 30 kilometer di provinsi Oddar Meanchey. Banyak dari mereka melakukan perjalanan bersama seluruh keluarga dan sebagian besar harta benda mereka dengan menggunakan traktor buatan sendiri, sebelum menetap di tempat tidur gantung dan tempat berlindung sementara.
Dari perkemahan dekat kota Samrong, ibu empat anak berusia 45 tahun, Tep Savouen, mengatakan serangan dimulai sekitar pukul 08.00 pagi.
“Tiba-tiba saya mendengar suara keras,” katanya kepada The Associated Press. “Anak saya bilang mungkin itu guntur dan saya berpikir ’guntur biasanya lebih keras suaranya, lebih mirip suara pistol?’ Saat itu saya sangat ketakutan.”
Kamboja tidak merilis rincian mengenai kematian atau cedera di pihak mereka.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand Nikorndej Balankura mengatakan pemerintah siap untuk mengintensifkan langkah-langkah pertahanan diri jika Kamboja terus melakukan agresi bersenjata dan pelanggaran terhadap kedaulatan Thailand.
Di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, juru bicara Kementerian Pertahanan Letjen Maly Socheata mengatakan negaranya mengerahkan angkatan bersenjata. “Kami tidak punya pilihan selain mempertahankan wilayahnya dari ancaman Thailand,” ujarnya. Juru bicara tersebut menegaskan bahwa “serangan Kamboja terfokus pada tempat-tempat militer, bukan tempat lain.”
Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menulis surat kepada Dewan Keamanan PBB meminta diadakannya pertemuan mendesak “untuk menghentikan agresi Thailand.” Tidak ada pertemuan yang dijadwalkan dalam waktu dekat, namun para diplomat di markas besar PBB mengatakan mungkin akan ada satu pertemuan pada Jumat.
Thailand juga menutup seluruh penyeberangan perbatasan darat sambil mendesak warganya meninggalkan Kamboja. Para pejabat mengatakan ketujuh maskapai penerbangan Thailand menyatakan kesediaannya untuk membantu memulangkan warga negara Thailand dari Kamboja.
Kedua negara bertetangga di Asia Tenggara ini telah lama terlibat perselisihan perbatasan, yang secara berkala berkobar di sepanjang perbatasan mereka sepanjang 800 kilometer dan biasanya mengakibatkan konfrontasi singkat, namun jarang melibatkan penggunaan senjata. Pertempuran besar terakhir mengenai masalah ini terjadi pada tahun 2011, yang menyebabkan 20 orang tewas.
Hubungan keduanya memburuk sejak konfrontasi pada Mei yang menewaskan seorang tentara Kamboja. Bentrokan pada Kamis memiliki intensitas yang luar biasa besar. Bentrokan pertama pada Kamis pagi terjadi di daerah dekat kuil kuno Ta Muen Thom di sepanjang perbatasan provinsi Surin di Thailand dan Oddar Meanchey di Kamboja, yang menyebabkan penduduk desa bergegas berlindung di bunker beton.
Tentara Thailand dan Kementerian Pertahanan Kamboja masing-masing mengatakan pihak lain mengerahkan drone sebelum maju ke posisi pihak lain dan melepaskan tembakan.
Kedua belah pihak kemudian menggunakan persenjataan yang lebih berat seperti artileri, sehingga menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang lebih besar, dan Thailand mengatakan pihaknya membalas dengan serangan udara hingga roket yang dipasang di truk yang diluncurkan oleh Kamboja.
Angkatan udara Thailand mengatakan pihaknya mengerahkan jet tempur F-16 dalam dua serangan di Kamboja. Nikorndej, juru bicara Thailand, menyebutnya sebagai “tindakan membela diri” sebagai respons terhadap roket Kamboja.
Kementerian Pertahanan Kamboja mengatakan jet Thailand menjatuhkan bom di jalan dekat kuil kuno Preah Vihear, yang pernah menjadi lokasi konflik masa lalu antara kedua negara.
Pihak berwenang Kamboja menyebarkan foto-foto yang mereka klaim menunjukkan kerusakan yang terjadi di sana, dan Kementerian Kebudayaan negara tersebut mengatakan bahwa mereka akan menegakkan keadilan berdasarkan hukum internasional, karena kuil tersebut dinyatakan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO, organisasi kebudayaan PBB, dan merupakan “warisan sejarah rakyat Kamboja.”
Hubungan keduanya memburuk bahkan sebelum bentrokan dimulai. Pada hari Rabu, Thailand menarik duta besarnya untuk Kamboja dan mengusir duta besar Kamboja untuk memprotes ledakan ranjau yang melukai tentaranya.
Pihak berwenang Thailand menuduh ranjau-ranjau tersebut baru saja dipasang di sepanjang jalur yang telah disepakati oleh kedua belah pihak agar aman. Mereka mengatakan ranjau tersebut adalah buatan Rusia dan bukan jenis ranjau yang digunakan oleh militer Thailand.
Kamboja menolak laporan Thailand dan menyebutnya sebagai “tuduhan tak berdasar,” dengan menunjukkan bahwa banyak ranjau yang tidak meledak dan persenjataan lainnya merupakan warisan perang dan kerusuhan pada abad ke-20. Kamboja juga menurunkan hubungan diplomatiknya dengan menarik semua staf Kamboja pada hari Kamis dari kedutaan besarnya di Bangkok.
Sengketa perbatasan juga mengguncang politik dalam negeri Thailand. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra mendapat kecaman awal bulan ini melalui panggilan telepon dengan mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang masih menjadi perantara kekuasaan di negaranya, ketika dia mencoba meredakan situasi. Dia kemudian diberhentikan dari jabatannya pada tanggal 1 Juli sambil menunggu penyelidikan atas kemungkinan pelanggaran etika atas masalah tersebut.
WNI Diminta Waspada
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok dan Phnom Penh mengimbau warga negara Indonesia (WNI) untuk meningkatkan kewaspadaan menyusul meningkatnya ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja, khususnya di Provinsi Oddar Meanchey dan Preah Vihear.
Dalam pernyataan resminya, KBRI Bangkok meminta WNI untuk mencermati perkembangan kondisi keamanan dari sumber resmi serta mematuhi instruksi yang diberikan oleh pemerintah setempat.
“Kami menghimbau WNI untuk meningkatkan kewaspadaan, tetap tenang, jangan panik, dan menghindari perjalanan ke perbatasan Thailand – Kamboja,” kata KBRI Bangkok dalam himbauan yang disampaikan melalui media sosial, Rabu (24/7/2025).
WNI yang tinggal di Thailand lebih dari enam bulan diminta untuk segera melakukan Lapor Diri melalui portal Peduli WNI di guna memudahkan komunikasi dalam situasi darurat. Dalam keadaan mendesak, WNI di Thailand dapat menghubungi hotline Konsuler KBRI Bangkok di nomor +66 92-903-1103.
Sementara itu, KBRI Phnom Penh menyampaikan imbauan serupa kepada WNI di Kamboja. “Menyikapi situasi konflik di perbatasan Kamboja–Thailand di Provinsi Oddar Meanchey & Preah Vihear, KBRI Phnom Penh mengimbau agar tetap tenang namun waspada,” tulis KBRI Phnom Penh melalui kanal informasinya.
KBRI Phnom Penh juga mengimbau agar WNI mengikuti informasi terkini dari sumber resmi dan mengikuti media sosial resmi KBRI untuk memperoleh pembaruan situasi. Bagi WNI yang belum melakukan Lapor Diri, diminta segera mendaftarkan diri melalui portal Peduli WNI.
Hotline KBRI Phnom Penh juga tetap aktif bagi WNI yang membutuhkan bantuan segera. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada laporan resmi mengenai WNI yang terdampak langsung oleh eskalasi di wilayah perbatasan tersebut.
Pemerintah Indonesia melalui kedua KBRI terus memantau situasi dan siap memberikan bantuan bagi WNI jika diperlukan. Kementerian Luar Negeri RI juga kembali mengingatkan pentingnya Lapor Diri sebagai bentuk perlindungan proaktif bagi WNI di luar negeri, terutama dalam situasi yang berpotensi berisiko tinggi seperti saat ini.(*)