Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Jadi Momentum Perbaikan Demokrasi, Dr Zainal Dorong Revisi UUPA

BERITA17 Dilihat

 

BANDA ACEH – Akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Dr Zainal Abidin SH MH, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah harus dipandang sebagai momentum penting untuk memperbaiki tata kelola demokrasi di Indonesia, khususnya di Aceh.

“Putusan MK No. 135 tidak bisa hanya dijadikan bahan perdebatan, tetapi harus dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun sistem demokrasi yang lebih sehat dan inklusif, baik di tingkat nasional maupun daerah,” kata Dr Zainal Abidin dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi, Revisi UUPA, dan Eksistensi Partai Politik Lokal Aceh” yang digagas Partai Perjuangan Aceh (PPA) di Plenary Hall Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI), Sabtu (23/8/2025).

Ia menegaskan, pembatalan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) menjadi landasan logis untuk meninjau kembali aturan serupa di Aceh. Saat ini, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) masih menetapkan ambang batas 15 persen bagi partai politik, termasuk partai lokal, untuk dapat mengusung calon kepala daerah.

“Kalau presidential threshold sudah dibatalkan MK, maka sangat logis jika threshold bagi pengusungan calon kepala daerah di Aceh juga dihapus. Ini penting untuk memperkuat eksistensi partai lokal dan memperluas ruang demokrasi,” tegasnya di hadapan peserta forum.

Zainal mendorong agar klausul ini masuk dalam agenda revisi UUPA, baik di tingkat DPR Aceh maupun DPR RI. Menurutnya, partai politik lokal yang menjadi kekhasan demokrasi di Aceh tidak boleh dipersempit ruang geraknya dengan aturan yang justru mengurangi kesempatan berkompetisi.

Di sisi lain, MK melalui putusan No. 60/PUU-XXII/2024 telah menetapkan skema baru mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah, yaitu minimal 8,5 persen suara sah untuk daerah dengan jumlah pemilih tertentu. Aturan ini memungkinkan partai politik, termasuk yang tidak memiliki kursi di DPRD, tetap dapat mengusung pasangan calon selama memenuhi persentase suara sah pada pemilu legislatif terakhir.

Namun, bagi Aceh, ketentuan tersebut tidak serta-merta berlaku karena Aceh memiliki kekhususan melalui UUPA dan Qanun Pilkada. Oleh sebab itu, menurut Dr Zainal, diperlukan penyesuaian atau harmonisasi aturan agar hasil putusan MK juga bisa diterapkan di Aceh tanpa menabrak regulasi khusus yang ada.

“Ini momentum emas bagi Aceh untuk melakukan konsolidasi politik. Jika regulasi diperbaiki, maka sistem demokrasi kita akan lebih terbuka, partai kecil maupun generasi muda punya ruang untuk berkompetisi, dan rakyat memiliki lebih banyak pilihan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *