PPA Ikut Perjuangkan Ubah Ambang Batas Pengajuan Cakada

BERITA14 Dilihat

 

Banda Aceh – Judicial review UUPA membuka peluang bagi Partai Lokal maupun Partai Nasional di Aceh untuk mengusung calon kepala daerah dengan ambang batas minimal perolehan kursi di DPRK/DPRA sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 8,5 persen.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Partai politik Lokal maupun Partai Nasional di Aceh hanya bisa mengusulkan pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau wali kota/wakil wali kota jika memiliki minimal 15 persen kursi di DPR Aceh (DPRA) atau DPRK hasil Pemilu sebelumnya.

Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Partai Perjuangan Aceh (PPA) bertajuk “Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi, Revisi UUPA, dan Eksistensi Partai Politik Lokal Aceh” di Plenary Hall Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI), Sabtu (23/8/2025).

Kegiatan ini dihadiri Jajaran Pimpinan PPA, yakni Ketua Umum Prof Adjunct Dr Marniati SE MKes, Ketua Dewan Pembina Dedi Zefrizal ST, Sekjen Rayuan Sukma, dan Ketua Harian Mursi dan para Waketum dan kader PPA lainnya.

Sejumlah narasumber juga hadir memberi pandangan, seperti Akademisi Prof Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, dan Prof Dr Azhari SH MCL MA, politisi yang juga mantan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar S.Ag, dan Dosen Fakultas Hukum USK Dr Zainal Abidin SH MH.

Diskusi itu yang dipandu oleh Moderator sdr. Arman Fauzi (Jurnalis Senior dan Pengamat sosial Aceh), antara lain menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, urgensi revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), serta peran strategis partai lokal dalam menjaga demokrasi Aceh.

Selain itu juga dibahas terkait aturan ambang batas 15 persen kursi DPRA bagi partai lokal untuk mengusung calon kepala daerah. Aturan ini dinilai menghambat demokrasi serta mempersempit ruang kaderisasi politik.

Prof Hasanuddin menegaskan setiap rakyat berhak berkiprah dalam politik tanpa dibatasi aturan ambang batas. “Ketika ambang batas diberlakukan, ada orang yang brilian dan layak jadi pemimpin, tapi terhalang oleh aturan itu. Akibatnya, bangsa ini bisa dirugikan,” ujarnya.

Sementara itu, Prof Azhari menegaskan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan “jalan tol” bagi demokrasi melalui ketentuan ambang batas 8,5 persen. “Namun, mengapa UUPA justru masih memilih menggunakan “jalan rusak”? Ini menjadi pekerjaan bersama yang wajib kita dorong,” ujarnya.

Mantan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, berargumen partai lokal merupakan instrumen vital perdamaian. “Parlok adalah amanat MoU Helsinki. Ia bukan sekadar simbol, tapi saluran aspirasi Aceh yang sah,” tegasnya.

Dia juga menyebutkan judicial review Undang Undang nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) membuka peluang bagi parlok di Aceh untuk mengusung calon legislatif di tingkat pemilihan DPR RI.

Sedangkan Dr Zainal Abidin menilai putusan MK harus dipandang sebagai momentum perbaikan sistem demokrasi.

“Putusan MK No. 135 tidak bisa sekadar diperdebatkan, tetapi harus dimanfaatkan untuk memperbaiki tata kelola demokrasi, baik di tingkat nasional maupun Aceh,” jelasnya. Peserta forum sepakat mendorong sistem politik yang lebih inklusif, agar partai kecil dan generasi muda tetap memiliki ruang berkompetisi.

Selain itu, Ketua Umum PPA, Prof Dr Marniati, menegaskan bahwa forum FGD ini merupakan bentuk tanggung jawab politik PPA. “Putusan MK memang berat bagi partai lokal, tapi harus kita jadikan momentum untuk memperjuangkan revisi UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan memperkuat partisipasi politik rakyat Aceh,” ujarnya.

Dalam FGD ini juga dirumuskan 10 rekomendasi yang nantinya akan disampaikan kepada DPRA dan pemerintah pusat. Melalui forum ini pula, PPA menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan Aceh yang demokratis, inklusif, dan setia pada semangat MoU Helsinki.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *