PPA Gelar FGD Bahas Revisi UUPA dan Putusan MK: Menakar Masa Depan Demokrasi Lokal Aceh

BERITA59 Dilihat

 

BANDA ACEH – Partai Perjuangan Aceh (PPA) menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) serta implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Kegiatan ini menjadi ruang dialog strategis dalam menakar arah demokrasi lokal Aceh di masa depan, khususnya pasca dua dekade perdamaian yang lahir dari MoU Helsinki.

FGD yang digelar pada Sabtu, 23 Agustus 2025 di Plenary Hall Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI) Banda Aceh, mengusung tema “Memperkuat Perdamaian, Membangun Solidaritas Partai Politik, Menyongsong Masa Depan Aceh yang Lebih Sejahtera”.

Forum ini menghadirkan sejumlah tokoh politik, akademisi, aktivis masyarakat sipil, hingga perwakilan partai politik lokal untuk memberikan pandangan dan masukan konstruktif terkait arah pembangunan demokrasi di Aceh.

Partai Perjuangan Aceh menilai, revisi UUPA merupakan agenda penting yang harus dikawal dengan serius. Sebab, UUPA adalah produk politik dari perdamaian Helsinki yang memberikan kewenangan khusus bagi Aceh dalam mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu dan konsolidasi partai politik lokal.

Namun, dinamika politik, ketidaksetaraan pembangunan, serta problem sosial-ekonomi masih menjadi tantangan besar yang perlu diatasi melalui penguatan regulasi.

Salah satu isu krusial yang turut dibahas adalah Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dengan jarak dua tahun. Putusan ini dinilai memiliki konsekuensi besar bagi sistem ketatanegaraan, strategi politik partai, serta efektivitas penyelenggaraan pemilu di Aceh. PPA menilai, konsekuensi ini harus dicermati dengan bijak agar tidak menimbulkan ketidakpastian politik yang justru melemahkan demokrasi lokal.

Selain itu, isu ambang batas Parliamentary Threshold (PT) sebesar 15 persen bagi partai lokal dalam mengusung calon pada Pilkada juga menjadi perhatian serius. Ketentuan ini dianggap dapat menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi pada sisi lain berpotensi mengurangi ruang partisipasi politik partai kecil dan partai baru. Akibatnya, representasi politik yang adil di tingkat lokal bisa terancam.

FGD ini menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, di antaranya Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA., yang membahas isu rekonsiliasi dan konflik; Prof. Dr. Azhari, SH., MCL., MA., yang mengulas peluang dan tantangan revisi UUPA; Muhammad Nazar, S.Ag., mengenai urgensi penguatan partai lokal di Aceh; serta Dr. Zainal Abidin, SH., MH., yang memberikan kajian terhadap Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 dan No. 135/PUU-XXII/2024.

Diskusi dipandu oleh jurnalis senior sekaligus pengamat sosial Aceh, Yarmen Dinamika. Kehadirannya sebagai moderator dinilai mampu memperkaya dinamika forum dengan perspektif yang kritis namun konstruktif. Forum ini juga melibatkan unsur strategis lain, seperti Komisi Independen Pemilihan (KIP), pengamat politik, serta kader partai lokal yang aktif berkontribusi dalam menyampaikan pandangan mereka.

Melalui forum ini, PPA menegaskan bahwa demokrasi Aceh harus terus dijaga agar tetap inklusif dan berkeadilan.

“Semua pihak harus duduk bersama untuk merumuskan solusi terbaik. Revisi UUPA dan implementasi putusan MK tidak boleh menggerus semangat perdamaian, melainkan harus memperkuat demokrasi lokal dan menjaga cita-cita perjuangan rakyat Aceh,” demikian pesan penyelenggara.

FGD ini diharapkan mampu menghasilkan rekomendasi yang komprehensif bagi pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh, khususnya dalam penyempurnaan regulasi politik lokal. Dengan adanya forum dialog semacam ini, PPA ingin memastikan bahwa perjalanan demokrasi di Aceh tidak hanya sekadar prosedural, tetapi juga substansial, berpihak kepada rakyat, serta sejalan dengan amanah perdamaian Helsinki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *