Omon-omon Obok-Obok Pertamina

BERITA235 Dilihat

Oleh: Salamuddin Daeng

 

JIKA melihat cara bagaimana aparat penegak hukum menyerbu PT Pertamina dalam tiga bulan terakhir, maka di hadapan publik, Pertamina terlihat seperti lembaga yang korup. Dari hulu hingga hilir disikat oleh lembaga penegak hukum yang berbeda, dari Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, hingga kejaksaan. Tapi ini adalah aksi bersih-bersih Presiden Prabowo Subianto di perusahaan raksasa paling besar di Indonesia. Prabowo menyikat perusahaan yang menguasai industri paling vital, perusahaan yang menguasai hajat hidup bangsa Indonesia. Namun perusahaan ini juga menjadi ladang tumbuh kembang dan berkuasanya oligarki kelas satu di negara ini.

Transaksi impor minyak oleh perusahaan ini saja mencapai Rp 1,1 triliun sehari. Belum termasuk bisnis gas, pembangkit listrik, dan bisnis-bisnis di luar migas. Menjadi bagian dari Pertamina adalah jaminan menjadi kaya raya.

Perusahaan ini kerap jadi bancakan  korupsi. Inilah yang coba dibuktikan penegak hukum dengan menggerebek kantor perusahaan itu dan menyita banyak dokumen yang diduga menjadi barang bukti dugaan tindak pidana korupsi. Ini juga menjadi langkah hebat Presiden Prabowo sejak dilantik menjadi presiden dan menunjuk orang dekatnya sebagai Direktur Utama Pertamina. Sebagai masyarakat tentu menunggu siapa lagi yang akan ditangkap karena korupsi.

Masyarakat Indonesia berharap Pertamina tetap berjaya, sebagaimana masyarakat bersedia berjejer dalam antrean panjang untuk membeli BBM di Pertamina dan tidak beralih ke SPBU swasta. Memang Pertamina adalah perusahaan negara dan milik masyarakat. Sehingga masyarakat menginginkan tidak ada korupsi di Pertamina. Pertamina yang bersih nantinya dapat meningkatkan  Pertamina ESGnya, memperbaiki peringkat utangnya, menjaga risiko keuangan.

Itulah mengapa Pertamina harus membuka diri dengan semua upaya penegak hukum untuk ikut membersihkan Pertamina dan pada saat yang sama Pertamina dapat melakukan berbagai daya upaya untuk berkomunikasi dengan publik nasional dan internasional sebagai perusahaan yang terpercaya. Ini bukan hal yang mudah, penangkapan beberapa pejabat korup di Pertamina seharusnya dipersepsikan sebagai era baru bersih bersih Pertamina.

Namun pada bagian lain korupsi yang menjalar dari hulu sampai ke hilir membuat perusahan Pertamina sulit untuk mempertahankan kredibilitasnya, mengingat korupsi yang merata melibatkan petinggi pertamina mulai dari hulu, kilang, impor minyak mentah, terlibat dugaan korupsi  kasus impor LNG, kasus impor BBM, kasus pembelian tanah, dan kasus korupsi digitalisasi dan lain sebagainya.

Semua ini akan membuat banyak petinggi Pertamina berurusan dengan dugaan korupsi. Pemberitaan tentang kasus kasus ini yang begitu masif akan membuat nama Pertamina jatuh di mata Internasional. Sebagai perusahaan dengan utang mendekati Rp 1.000 triliun, ini akan menjadi perhatian besar bagi investor. Pertamina akan akan menjadi perusahaan dengan kategori berisiko untuk investasi. Ini juga akan membawa peningkatan risiko terhadap obligasi Pertamina yang diterbitkan.

Bunga meningkat, imbal hasil obligasi Pertamina naik, liabilitas Pertamina semakin beresiko. Bahkan berpotensi gagal bayar. Belum lagi ada rencana memasukkan Pertamina dalam Danantara, sebuah super holding BUMN yang terdiri dari Pertamina, PLN dan semua bank BUMN.  Ada sebagian publik yang senang melihat aksi aksi bersih di Pertamina. Mereka tidak berprasangka negatif berapa pun pejabat Pertamina yang menjadi incaran semua lembaga penegak hukum, ini hanya oknum.

Namun ada juga yang bertanya motif di balik serangan yang mengobok-obok Pertamina. Hasil pemberantasan korupsi di Pertamina harus sejalan dengan tujuan kedaulatan negara atas energi, ketahanan energi, atau swasembada energi. Bukan malah melemahkan perusahaan yang bertanggung jawab atas penyediaan BBM, LPG bagi bangsa Indonesia. Jadi pemberantasan korupsi ini harus ditunjukkan sampai tuntas, sampai ada hasilnya, jangan cuma isu atau tuduhan yang tidak ada ujungnya.

Kita harus melihat sejarah perusahaan ini. Sebelum reformasi 98, Pertamina didelegitimasi sebagai perusahaan negara paling korup, walaupun aset aset Pertamina menjulang tinggi hingga di New York. Pertamina dicap sebagai tepat korupsi pejabat Indonesia walaupun Pertamina adalah perusahaan terbesar di Asia sesudah perusahaan Jepang.  Akan tetapi reformasi bicara lain. Letter of Intent menempatkan Pertamina sebagai prioritas untuk direformasi.

Tindakan apa itu? yakni melakukan liberalisasi migas bersamaan dengan restrukturisasi aset pertamina, aset Pertamina harus dijual dengan alasan tidak efisien. Reformasi mencapai puncak kemenangannya dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Ingat bahwa reformasi Pertamina itu dimulai dengan black campaign tentang Pertamina yang berujung digantikannya UU Pertamina menjadi UU 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Maka era liberalisasi migas pun dimulai sejak saat itu.

Sekarang pertanyaan yang sama menyeruak, apa ujung dari serangan kepada Pertamina terkait dugaan wabah korupsi di dalam Pertamina? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, mengembalikan kedaulatan negara atas migas. Kedua, pergantian pemain-pemain migas. Ketiga restrukturisasi lebih lanjut ke arah liberalisasi penuh. Dugaan dua dan tiga lebih memiliki jejak historis, namun dugaan yang pertama belum pernah terjadi. Muncul harapan besar pemberantasan korupsi dari hulu sampai ke hilir Pertamina sekarang ini dapat menjadi batu loncatan untuk mengembalikan kedaulatan negara atas minyak dan gas.

Karena ini dilakukan oleh Presiden Prabowo yang anti segala macam kebocoran.  Ada satu hal yang lebih mengkuatirkan lagi, yakni Pertamina mengalami gagal bayar, bangkrut, karena utang besar dan kepercayaan publik menurun.  Simon Alosyus Mantiri, Dirut Pertamina baru, orang kepercayaan Presiden Prabowo, harus bicara kepada publik bahwa Pertamina akan tetap mampu bayar utang.

Dirut harus meyakinkan publik bahwa Danantara akan menjadi induk baru Pertamina yang akan menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan akibat utang. Bicarakan apa adanya. Jangan diam. Karena sekarang sebagian besar minyak, LPG, adalah impor dan produksi minyak nasional terjun bebas, penerimaan negara dari migas kalah jauh dengan dengan penerimaan negara dari cukai tembakau. Atau aksi bersih-bersih di Pertaminan cuma omon-omon.*** *)

 

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *