Acehupdate.net, BANDA ACEH – Muhammad Qodrat, kuasa hukum empat mahasiswa demonstran yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan ujaran kebencian, menilai putusan majelis hakim tidak adil. Muhammad Qodrat juga menyoroti berbagai kejanggalan dalam proses hukum, mulai dari keterlambatan penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), penangkapan yang melebihi batas waktu, hingga penyitaan barang bukti yang dianggap tidak sah.
“Putusan ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga menjadi justifikasi terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum,” kata Muhammad Qodrat, Selasa, 18 Februari 2025.
Salah satu keberatan utama adalah terkait SPDP yang seharusnya diserahkan dalam waktu tujuh hari setelah diterbitkan. Namun, menurut Qodrat, dalam kasus ini, SPDP diserahkan lebih dari tujuh hari, yang seharusnya dianggap sebagai pelanggaran hukum.
“Hakim hanya melihat tanggal penerbitan, bukan kapan SPDP itu diterima tersangka. Padahal, kalau SPDP tidak diserahkan tepat waktu, maka proses hukumnya menjadi cacat,” tuturnya.
Selain itu, Qodrat juga mengatakan penangkapan yang dilakukan lebih dari 1×24 jam, melebihi batas yang diatur dalam undang-undang. Namun, majelis hakim tetap menganggap penangkapan itu sah dengan alasan para mahasiswa berdomisili di luar Banda Aceh.
“Pertimbangan ini menurut kita sangat lucu, ini alasan yang tidak bisa dibenarkan secara hukum. Dimanapun seseorang tinggal, aturan 1×24 jam tetap harus dipatuhi,” ujarnya.
Tak hanya itu, Qodrat turut mempermasalahkan pengambilan paksa ponsel para mahasiswa oleh aparat kepolisian dan baru dikembalikan setelah beberapa minggu kemudian.
“Dalam hukum acara pidana, pengambilan paksa itu harus dianggap sebagai penyitaan. Tapi hakim mengabaikan fakta ini hanya karena kepolisian tidak mengakuinya sebagai penyitaan, padahal sudah diambil. Jadi pertanyaannya kemudian kalau itu bukan sita itu apa?,” katanya.
Keempat mahasiswa itu kini berstatus tersangka, mereka adalah Iryanto Lubis, Muhammad Ryandi Safitra, Teuku Muhammad Fadil, dan Yudha Aulia Maulana. Qodrat mengatakan, jika putusan ini dibiarkan akan mengancam kebebasan berekspresi.
“Makanya menurut kita keputusan ini sangat mengancam kebebasan berekspresi dan mengancam demokrasi. Hari ini mahasiswa, besok siapa pun bisa mengalami hal serupa,” pungkasnya.***