Komisaris Bank Aceh Disorot, Dinilai Tak Maksimal Awasi Kinerja

BERITA, EKBIS14 Dilihat

BANDA ACEH –Kinerja Bank Aceh Syariah (BAS) kembali disorot. Kali ini tentang peran Dewan Komisaris yang dinilai tidak maksimal menjalankan fungsi pengawasan.

Padahal, sejak bank-bank nasional hengkang dari Aceh menyusul penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS), ruang besar terbuka bagi BAS untuk memperkuat posisinya sebagai tulang punggung perekonomian daerah dan tampil sebagai kekuatan utama sektor keuangan di Tanah Rencong. Namun, peluang tersebut tampak belum dimanfaatkan optimal.

Kinerja lembaga keuangan milik Pemerintah Aceh itu dinilai belum menjawab kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Digitalisasi yang tertinggal, jangkauan layanan yang sempit, serta lemahnya peran pengawasan, menjadi deretan persoalan yang memicu kritik publik.

Salah satu suara kritis datang dari Dr Amri, SE., M.Si, pengamat ekonomi dari Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK) Bank Aceh. Ia menegaskan bahwa Bank Aceh Syariah adalah aset publik, bukan milik sekelompok elit birokrasi atau kepentingan politik tertentu.

“Kalau modal dasarnya berasal dari APBA, maka BAS adalah milik rakyat Aceh. Maka, pengawasan dan pengelolaannya harus berpihak pada kepentingan publik, bukan hanya menjaga stabilitas politik anggaran,” ujar Dr. Amri, Ahad (29/6).

Menurutnya, dengan 23 kabupaten/kota, 289 kecamatan, dan lebih dari 6.500 gampong, serta jumlah penduduk 5,4 juta jiwa, seharusnya BAS sudah bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di setiap lapisan masyarakat. Namun realitasnya jauh panggang dari api.

Saat ini, jaringan layanan BAS hanya mencakup sekitar 50-an cabang dan unit, yang mayoritas berada di wilayah perkotaan. Di sisi lain, sektor riil di pedesaan seperti petani, nelayan, pedagang kecil, dan pelaku UMKM belum tersentuh secara maksimal oleh layanan BAS.

“Sampai hari ini, belum ada jaminan bahwa kehadiran BAS berdampak langsung terhadap kesejahteraan warga di seluruh Aceh. Padahal, dengan dukungan APBA, bank ini seharusnya bisa mengisi ruang yang ditinggalkan oleh bank-bank nasional,” tegasnya.

Setelah pemberlakuan Qanun LKS, bank-bank konvensional seperti BNI, Mandiri, dan BRI menutup layanan mereka di Aceh. Namun kekosongan tersebut tidak serta-merta diisi oleh BAS. Di banyak wilayah, justru rentenir menguasai pasar keuangan mikro dengan bunga mencekik 10–20 persen per bulan.

“Ketika bank milik rakyat tidak hadir, maka pelaku keuangan informal masuk dan merugikan masyarakat. Ini kegagalan fungsi intermediasi. Komisaris harus bertanggung jawab karena pengawasan tidak berjalan,” tegas Amri, pemegang sertifikat Planning and Budgeting dari GRIPS Tokyo, serta mantan Sekretaris Program Magister Manajemen USK.

Sorotan tajam pun diarahkan ke Dewan Komisaris BAS. Menurutnya, fungsi pengawasan yang seharusnya menjadi kendali arah kebijakan manajemen, justru lemah dan pasif.

Ia menekankan bahwa peran komisaris tidak boleh sebatas menyetujui laporan keuangan atau hadir di rapat bulanan. Mereka harus aktif mengawasi distribusi pembiayaan, mengevaluasi dampaknya terhadap ekonomi mikro, serta mendorong inovasi produk pembiayaan yang pro-rakyat.

Amri juga menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan pemerintah daerah dengan operasional bank yang profesional, bukan politis.

“Komisaris tidak boleh hanya mengamankan posisi. Mereka harus berani mengintervensi jika kebijakan bank tidak berpihak pada rakyat. Kalau tidak, publik hanya akan melihat BAS sebagai perpanjangan tangan APBA, bukan sebagai motor perubahan ekonomi.”

Untuk mendorong perubahan, Dr. Amri mengusulkan sejumlah langkah strategis:

Seleksi terbuka dan berbasis merit untuk calon anggota Dewan Komisaris, bukan berdasarkan kedekatan politik.

Audit kinerja evaluatif terhadap Dewan Komisaris BAS dalam lima tahun terakhir.

Peningkatan kapasitas dan profesionalisme pengawasan melalui pelatihan dan sertifikasi berkala.

Transparansi kebijakan publik, khususnya terkait penyaluran dana APBA melalui BAS.

Amri mengingatkan pentingnya transformasi menyeluruh. Jika ingin setara dengan Bank Syariah Indonesia (BSI) dan menjadi tulang punggung ekonomi rakyat Aceh, BAS harus berani meninggalkan pola lama.

“Bank Aceh harus hadir di tempat yang ditinggalkan bank nasional dan menjawab persoalan rakyat. Bukan hanya menjaga saldo kas pemerintah. Inilah waktunya membuktikan bahwa bank ini benar-benar milik rakyat Aceh,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *