Koalisi Gerindra-Partai Aceh Retak, Mualem Diminta Redam Zulfadhli

BERITA, DAERAH, POLITIK477 Dilihat

Acehupdate.net, BANDA ACEH – Antropolog Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, menilai Ketua DPR Aceh, Zulfadhli, meluapkan amarahnya dalam rapat paripurna kemarin malam terkait penunjukan Alhudri sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Aceh menunjukkan sinyal retaknya hubungan koalisi antara Partai Aceh dan Gerindra.

Seharusnya, kata dia, Zulfadhli menyampaikan lebih elegan agar tidak menimbulkan spekulasi publik tentang soliditas pemerintahan.

“Zulfadhli menyalahkan Gerindra, tapi tidak menyalahkan Mualem, padahal yang menandatangani keputusan tersebut adalah Mualem. Ini menjadi tanda bahwa koalisi di Pemerintahan Aceh tidak cukup solid,” ujar Kemal seperti dilansir AJNN, Sabtu, 22 Februari 2025.

Kemal juga menyoroti kekhawatiran Partai Aceh sebagai partai pemenang Pemilu Aceh yang merasa terancam akan tersisih oleh Wakil Gubernur Fadhlullah, yang juga Ketua Gerindra Aceh. Apalagi, kekuatan politik di tingkat nasional kini dikuasai oleh Gerindra.

“Zulfadhli seharusnya tidak perlu marah-marah di ruang publik, apalagi sampai menyebut bahwa partai dengan lima kursi tidak perlu mengatur Aceh. Perlu diingat, tanpa Gerindra, kemenangan Mualem dalam Pilgub Aceh juga sangat tipis. Bahkan, tanpa dukungan Prabowo, kans kemenangan Mualem bisa saja tergelincir,” ujar Kemal.

Sebagai pimpinan Partai Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, diminta segera mengambil peran sebagai penengah untuk mencegah konflik yang lebih besar di internal pemerintahan.

“Mualem harus bisa mendinginkan suasana dan merangkul kembali kadernya, agar tidak memunculkan persoalan baru,” ujar Kemal.

Ia juga mengingatkan pentingnya membangun komunikasi yang harmonis antara eksekutif dan legislatif. “Jika tidak, Mualem bisa terjebak dalam konflik yang mirip dengan bentrokan antara gubernur dan wakil gubernur di masa lalu,” ucapnya.

Kemal mengingatkan Ketua DPR Aceh untuk lebih menahan diri dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. Sikap arogansi dan kemarahan terbuka bisa memperburuk hubungan politik dan berpotensi memecah koalisi yang telah dibangun.

“Pejabat publik seharusnya lebih bijak dalam mengelola emosinya di depan umum, agar tidak memperkeruh suasana dan menciptakan politik keterbelahan,” ujarnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *