BANDA ACEH – Guru besar Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, mengatakan pencaplokan empat pulau di Aceh Singkil bukan sekadar isu pengalihan wilayah. Tindakan pemerintah pusat itu mengabaikan martabat dan komitmen politik pasca-perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia di Helsinki.
“Keputusan pemerintah pusat itu dilakukan secara sepihak, tanpa proses dialog yang terbuka dan bermakna. Ini menimbulkan rasa diperlakukan secara tidak adil,” kata Humam Hamid, Rabu, 11 Juni 2025.
Bagi sebagian orang, kata Humam Hamid, pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatra Utara itu, secara administratif, tampak sederhana. Namun bagi masyarakat Aceh, keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi sejarah, politik, dan identitas yang kompleks.
Humam Hamid mengatakan pulau-pulau itu bukan sekadar titik di peta. Keempat pulau itu, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, adalah bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar.
Dalam konteks ini, kata Humam Hamid, pendekatan legalistik terhadap pengalihan wilayah hanya akan memperdalam kecurigaan. Bila tidak ditangani secara sensitif, keputusan administratif itu bisa menjadi percikan bagi munculnya kembali narasi resistensi yang lebih luas.
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menandatangani pengalihan empat pulau dari Aceh Singkil ke Tapanuli Tengah. Lantas, dia mempersilakan pihak-pihak yang menolak keputusan itu menggugat ke pengadilan.***