DBD Banda Aceh Terus Naik, RSUD Zainoel Abidin Hampir Penuh Saat Musim Hujan

BERITA22 Dilihat

BANDA ACEH –  Dinas Kesehatan Banda Aceh mencatat pada 2019 terdapat 250 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)  dengan 5 kematian. Angka tersebut meningkat menjadi 330 kasus dan 8 kematian pada 2020, lalu melonjak menjadi 420 kasus dengan 12 kematian pada 2021. Pada 2022, kasus DBD kembali naik menjadi 537 dengan 15 kematian.

Menurut Dosen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, dr. RM. Agung Pranata, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, kasus DBD di Banda Aceh relatif tinggi.

“Menurut laporan Kementerian Kesehatan Indonesia pada 2023, Banda Aceh mencatat lebih dari 600 kasus, lebih tinggi dibandingkan Medan yang melaporkan 480 kasus, Yogyakarta 350 kasus, dan Padang 410 kasus,” sebut Agung, Sabtu, 28 Juni 2025.

Baca Juga: Dua Bocah Terseret Arus di Pantai Lhoknga Aceh Besar

Ia menilai tingginya angka tersebut menjadi lebih mengkhawatirkan jika mempertimbangkan populasi Banda Aceh yang jauh lebih kecil dibandingkan kota-kota lain. Hal ini menunjukkan adanya faktor lokal yang mempermudah penyebaran virus dengue. Salah satunya adalah curah hujan yang tinggi serta pola hidup masyarakat yang belum sepenuhnya mendukung upaya pencegahan.

Agung menjelaskan bahwa lonjakan kasus DBD biasanya terjadi pada musim hujan, terutama antara Oktober hingga Februari. Periode ini menjadi waktu paling rawan karena banyaknya genangan air bersih di lingkungan perumahan yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti.

Data Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan bak mandi, pot bunga, dan barang bekas yang dibiarkan terbuka merupakan lokasi genangan air yang paling sering ditemukan.

Baca Juga: “Ini Pulau Kita!”: Gubernur Mualem Gelar Kenduri Akbar dan Doa Bersama atas Kembalinya Empat Pulau ke Pangkuan Aceh

“Selain faktor lingkungan, rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya penerapan 3M—menguras, menutup, dan mendaur ulang—turut memperburuk situasi. Fogging yang baru dilakukan setelah kasus ditemukan membuat virus dengue telanjur menyebar sebelum pengasapan dilakukan. Mobilitas penduduk yang tinggi juga menjadi faktor pendorong kenaikan kasus,” jelasnya.

Lonjakan kasus DBD berdampak luas, bukan hanya bagi pasien dan keluarganya, tetapi juga membebani fasilitas kesehatan dan perekonomian daerah. Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin, Banda Aceh, kerap penuh sesak saat puncak musim hujan.

Laporan RSUD Zainoel Abidin pada 2023 menyebut tingkat hunian ruang rawat inap mencapai 90 persen selama puncak musim DBD, sehingga banyak pasien terpaksa menunggu di unit gawat darurat karena kekurangan tempat tidur.

“Tenaga medis juga kewalahan. Pasien DBD membutuhkan pemantauan ketat selama 24 jam, terutama saat trombosit menurun dan risiko syok meningkat. Kelelahan tenaga medis menjadi salah satu tantangan utama dalam menangani lonjakan kasus ini,” kata Agung.

Ia menambahkan, masalah lain yang tidak kalah penting adalah kurangnya tenaga kesehatan dan terbatasnya fasilitas penunjang. Setiap kali kasus DBD melonjak, rumah sakit dan puskesmas langsung kewalahan. Tempat tidur penuh, tenaga medis kekurangan staf, dan stok obat sering kali tidak mencukupi. Akibatnya, pasien tidak bisa mendapatkan penanganan secepat yang dibutuhkan.

“Belum lagi banyak warga yang tidak mengenali gejala awal DBD dan baru memeriksakan diri ke dokter ketika kondisinya sudah parah. Inilah yang membuat angka kasus terus naik setiap tahunnya,” ujarnya.

Menurut Agung, perubahan iklim turut memperburuk situasi. Musim hujan yang lebih panjang dan suhu yang semakin panas menyebabkan populasi nyamuk berkembang lebih cepat. Genangan air menjadi semakin banyak, sehingga upaya pengendalian DBD semakin sulit dilakukan.

“Anggaran pencegahan DBD juga masih terbatas. Program seperti fogging dan penyuluhan masyarakat membutuhkan biaya besar. Ketika dana tidak mencukupi, program pencegahan tidak bisa berjalan maksimal, sehingga nyamuk tetap berkembang biak dan kasus DBD tidak kunjung turun,” tuturnya.

Agung menekankan bahwa setiap orang memiliki peran penting dalam mencegah penyebaran DBD. Ia mengimbau masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, menghindari genangan air, menggunakan kelambu atau obat nyamuk saat tidur, serta mengenakan pakaian tertutup terutama pada pagi dan sore hari ketika nyamuk Aedes aegypti paling aktif. Jika tersedia, vaksinasi DBD juga dapat menjadi langkah perlindungan tambahan.

“Di rumah, keluarga harus ikut berperan aktif. Biasakan anak-anak peduli terhadap kebersihan lingkungan, terapkan 3M secara rutin, dan pantau kesehatan anggota keluarga. Begitu ada gejala DBD, segera bawa ke fasilitas kesehatan agar bisa cepat ditangani,” imbaunya.

Menurutnya, pemerintah juga memiliki peran besar dalam pengendalian DBD. Program edukasi dan penyuluhan harus terus digencarkan di sekolah, tempat kerja, dan tempat ibadah. Pemantauan kasus DBD perlu dilakukan secara rutin agar langkah pencegahan lebih efektif. Selain itu, fasilitas vaksinasi harus diperluas dan program fogging dijalankan lebih optimal, terutama di wilayah yang rawan penyebaran DBD.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *