Balai Syura Bahas Jejak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Peran GERPER dalam Pencegahan dan Penanganannya

BERITA, DAERAH639 Dilihat

Acehupdate.net, BANDA ACEH-Balai Syura Ureng Inong Aceh (BSUIA), bertepatan dengan peringatan Hari Ibu ke-96 atau hari pergerakan Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 2024, Pukul 20.00 WIB,  menggelar Open Mic Series 1 dengan Tema  “Berani Bicara: Perempuan Aceh  Ungkap Jejak Kekerasan.  Masih kah kita diam?.

Acara yang  dilakukan virtual diikuti oleh 70  peserta dari berbagai kalangan. Narasumber utama adalah 14 Dewan Balai Syura Kab/kota dengan dua Penanggap yaitu Darwati Agani (anggota DPD RI)  dan Bayu Satria (Founder Youth ID).

Open Mic ini dimoderatori oleh salah satu presidium BSUIA yaitu Amrina Habibi yang sekaligus berfungsi sebagai penanggung jawab kegiatan.

Dalam sambutan pembukanya Ketua Presidium BSUIA Dr. Rasyidah menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pelaksanaan kegiatan ini, karena mampu menjadi speaker yang memberi power bagi suara perempuan.

“Apalagi narasumber adalah aktifis gerakan yang sehari hari bergelut dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan , tentuinya hal ini sekaligus menjadi momentum review akhir tahun 2024” katanya.

Rasyidah menambahkan bahwa hari ini masih banyak perempuan korban kekerasan yang memilih diam. Kalau kasus kekerasan dalam rumah tangga, atau di masyarakat, atau di lembaga pendidikan didiamkan, kekerasan seksual dan lainnya juga didiamkan, maka dapat diprediksi kekerasan terhadap perempuan dalam ragam bentuknya akan merajalela, pelaku juga menjadi leluasa tanpa efek jera.

“Maka sangat penting untuk mendorong perempuan berani bersuara memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Perlawanan akan lebih kuat jika dilakukan secara melembaga dan bekerja secara kolaboratif, tidak bekerja sendiri, tidak terbagi dalam kotak kotak, tapi bersama untuk bicara dan bertindak dalam aksi nyata” tegas Rasyidah.

Sementara itu Amrina  Habibi selaku penanggung jawab kegiatan menyebutkan tentang  tiga hal penting yang dibahas meliputi , bagaimana peta situasi KTP ( kekerasan terhadap perempuan) yang terjadi di wilayah/kab/kota masing-masing.

Selanjutnya kata Amrina, tantangan apa yangg dihadapi oleh gerakan perempuan untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk KTP ( kekerasan terhadap perempuan), serta yang terakhir strategi apa yang dapat dilakukan untuk mendorong perempuan berani bicara dan berani melawan segala bentuk KTP ( kekerasan terhadap perempuan).

Terkait respon keseluruhan pembicara, Amrina mengatakan seluruhnya memperlihatkan sudut pandang yang sama bahwa KTP ( kekerasan terhadap perempuan) terus terjadi dengan angka terlapor yang sangat sedikit dibandingkan yang terjadi sesungguhnya karena multi faktor penyebab dan berlaku Fenomena Gunung es.

“Seluruh pembicara responnya memberikan sudut pandang yang sama bahwa kekerasan terhadap perempuan terus terjadi meskipun jumlahnya yang nampak dilapangan sedikit, ini seperti fenomena gunung es” sebutnya.

Disebutkannya lagi bahwa pelaku pada umumnya orang dekat bahkan juga memiliki hubungan darah yang berfungsi sebagai pelindung tapi telah berubah menjadi Pemangsa tanpa perikemanusiaan.

“Masih ditemukan kondisi menyalahkan Perempuan korban dan bahkan korban menjadi korban kedua atau ketiga kali karena pemahaman dan  praktek-praktek adat yang belum responsif terhadap korban” tuturnya.

Selain itu juga kemiskinan dan pemiskinan juga menjadi factor penyebab bahkan untuk kasus incest rumah tak layak huni atau rumah tak berdinding juga telah merobohkan tatanan keluarga. Ketika anak melahikran anak dari ayah yang seharusnya menjadi kakek sianak.

“Aparat gampong dan aparat penegak hukum harus didorong untuk memiliki responsitifitas yang lebih adil kepada korban, dilain sisi tentu melanjutkan Pendidikan kritis kepada anak,keluarga,Masyarakat dan pemangku kepentingan bahwa bicara KTP (kekerasan terhadap perempuan)  bukan hal sepele dan remeh temeh” pungkasnya.

Sementara itu, Anggota DPD RI Darwati A. Gani sebagai penanggap dalam acara tersebut  menyampaikan dua hal penting bahwa kekerasan terhadap perempuan ini seperti fenomena gunung es, jumlah kasus yang terlihat sesungguhnya hanya mewakili sebagian kecil yang terungkap.

” Jadi dapat dipastikan masih terdapat jumlah kasus yang signifikan belum mampu atau belum berani diungkap oleh korban sehingga menyebabkan lemahnya efek jera yang didapatkan oleh pelaku kekerasan terhadap perempuan,  yang kemudian tidak menutup kemungkinan terjadi reperation atau pengualangan tindakan” kata Darwati.

Anggota DPD RI asal Aceh ini mendorong kaum perempuan harus saling medukung, menguatkan dan mengungkapkan jika mengetahui terjadi kekerasan terhadap perempuan dilingkungannya. Karena sering kali korban takut melapor dikarenakan merasa sendiri dan tidak memiliki dukungan atas dirinya.

Kemudian yang kedua menurutnya, perlunya memperkuat fungsi dari komunitas peduli perempuan di Aceh. Dimana komunitas ini dapat menjadi wadah pembelajaran bersama, sosoalisasi hingga konseling terbuka untuk para perempuan.

“Dalam pandangan saya selain kita sudah memiliki UU PKDRT, UU Tidak Pidana Kekerasan Seksual dalam konteks kebijakan negara, maka saya melihat perlunya memperkuat fungsi dari komunitas peduli perempuan di Aceh”. ujarnya.

Darwati menambahkan bahwa akar utama kekerasan pada perempuan sering kali kekerasan terhadap perempuan ini terjadi justru terjadi diranah domestik, sehingga menempatkan perempuan sebagai subordinat yang kurang sekali infromasi dan edukasi tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang sesungguhnya sudah dilindungi oleh hukum di negara.

Oleh karena itu didalam sesi “open mic” dia mengajak seluruh lapiran masyarakat, komunitas sosial dan pemangku kepentingan untuk terus melakukan edukasi dan seruan agar para perempuan berani bicara jika telah terjadi kekerasan terhadap dirinya, karena negara, komunitas dan masyarakat sejatinya melindungi dan mendukung pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

Sementara itu Bayu Satria, Founder Youth ID yang juga hadir dalam acara Open Mic Series 1 yang berlangsung secara Virtual ini  menegaskan bahwa urgensi isu KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan) sebagai isu Bersama   dimana Kondisi Perempuan masih menunjukkan banyak tantangan sebagi kelompok yang di nomor dua kan.

Open Mic Series 1 dengan Tema  “Berani Bicara: Perempuan Aceh  Ungkap Jejak Kekerasan.  Masih kah kita diam? berhasil memetakan sejumlah strategi dan upaya perbaikan yang harus ditindak lanjuti secara penuh tanggung jawab.

Sebagai informasi bahwa Balaisyura merupakan rumah besar perempuan Aceh yang memiliki simpul di 17 kabupaten kota dengan 186 lembaga anggota akan terus berkomitmen menjadi lokomotif yang mendorong gerakan bersama untuk perlindungan perempuan dari beragam tindak kekerasan, dan menjadi jembatan yang memberi power bagi suara perempuan. Perempuan menyapa, perempuan berdaya, menuju Indonesia Emas 2045.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *