AMRINA HABIBI, S.H. M.H., Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, melaporkan dari Makkah al-Mukarramah.
Sejumlah kereta bayi (stoller) disusun berderet dengan rapi pada bagian luar Masjidilharam atai Baituharam yang sekaligus juga berfungsi sebagai tempat shalat untuk jemaah yang terkadang lebih memilih berada di luar masjid dengan beberapa pertimbangan. Termasuk kemungkinan pertimbangan mudah untuk mengakses toilet dan tempat wudu.
Kamis, 23 Januari 2025, menjelang malam Jumat, saya dan anak-anak juga memilih duduk di bagian luar dan bisa berinteraksi terbatas dengan ibu-ibu muda dan juga anak-anak yang terlihat sangat manis.
Hari Jumat memang menjadi hari yang luar biasa untuk masyarakat Arab Saudi karena Jumat adalah hari libur dan sepertinya salah satu tempat pilihan paling favorit adalah mendatangi Masjidilharam bersama keluarga.
Baitulharam yang humanis
Salah satu sisi pengasuhan yang terlihat sangat humanis di rumah Allah ini adalah karena seorang ibu dengan peran reproduksinya yang masih produktif juga mendapatkan kesempatan untuk beribadah dengan baik, dan bisa membawa putra-putri mereka bersama suami.
Ternyata sejak tahun 2022 Pemerintah Saudi Arabia telah mengeluarkan kebijakan menjamin pemenuhan hak anak dengan memberi akses yang seluas-luasnya kepada anak-anak untuk dapat masuk ke Masjidilharam. Masjid ini benar-benar telah menjadi masjid ramah anak.
Jutaan manusia—termasuk para perempuan, baik penduduk lokal maupun tamu Allah dari berbagai belahan dunia, dengan latar belakang budaya, strata ekonomi, dan aliran mazhab yang berbeda—mengejar kesempatan untuk bisa beribadah di Masjidilharam. Itu karena, ada ribuan pahala sebagai hadiah dari Allah atas kebaikan-kebaikan yang dilakukan di tempat suci ini.
Satu hal yang sangat berarti tentunya adalah karena semua orang punya hak dan motivasi yang sama dalam mengejar rahmat Allah.
Pada saat shalat Isya, imam Masjidilharam membaca surah Assafat sebagai salah satu surah yang turun di Makkah dengan suara merdu. Pada beberapa ayat, imam menangis terisak lantaran meresapi kedalaman makna dan isi surah tersebut. Surah ini menceritakan tentang keesaan Allah, hari pembalasan, dan kehidupan orang mukmin di surga.
As-Saffat juga memberikan gambaran tentang Rasulullah saw sebagai satu-satunya pembawa kebenaran kepada seluruh umat di dunia.
Surah As-Saffat turun ketika Nabi Muhammad saw sedang berdakwah di Makkah dengan penolakan yang luar biasa. Namun, misi Nabi Muhammad membawa risalah kebenaran tetap berjalan dan berhasil.
Sisi kebaikan
Manusia dalam setiap sisi keburukannya pasti memiliki kebaikan, maka kebaikan itu pulalah yang perlu kita jaga bersama-sama dalam kapasitas apa pun kita berada. Termasuk kebaikan-kebaikan untuk memperlakukan anak-anak yang pada dasarnya juga memiliki hak asasi yang sama dengan orang dewasa.
Masjidilharam menjadi bukti dan meninggalkan jejak perlakuan yang sangat adil kepada anak dan perempuan. Dua makam yang ada di Hijir Ismail dan makam Ibrahim adalah bukti seorang ayah, ibu, dan anak yang menjadi tokoh sentral dalam pengembangan hak partisipasi anak.
Ketika Ibrahim menerima perintah Allah untuk menyembelih Ismail, pendapat Hajar tak pernah diabaikan. Begitu pula pendapat Ismail. Dengan penuh kasih sayang Ibrahim bertanya pada anaknya, ya Ismail dengan awalan kata “Ya bunayya” (wahai anakku).
Seorang anak karena telah dipenuhi hak dasarnya dalam pendidikan dan pengasuhan, khsususnya pendidikan agama, dengan mantap menjawab, “Jika itu perintah Allah maka lakukanlah wahai ayahku.”
Seorang ayah dan ibu pasti merasakan kesedihan yang sangat mendalam karena seorang anak yang dinanti-nantikan bertahun-tahun—bahkan dengan pilihan melakukan perkawinan kedua, lalu kemudian ditinggal sekian tahun, hanya ditemani ibunya di bukit yang gersang, tanpa kehidupan, dan baru saja dijumpai— harus diakhiri hidupnya.
Ayah dan ibu mana yang sanggup dihadapkan pada pilihan superdilematis seperti itu? Ya, pasti hanya Ibrahim dan Siti Hajar-lah yang sanggup karena bukti ketaatannya yang luar biasa kepada Allah Swt, dan Allah ternyata tidak pernah memgabaikan kebaikan-kebaikan manusia dan menggantinya dengan sesuatu yang tak pernah kita duga-duga: seekor kibas. Allahhu Akbar.
Dalam konteks hari ini, kita orang dewasa kerap mengeluh dengan perilaku-perilaku negatif anak-anak kita yang bahkan juga sudah menyerempet para perbuatan haram dan sia-sia. .Apakah salah anak sepenuhnya? Mari kita jawab penuh kesadaran diri, apakah kita sebagai orang tua telah memenuhi hak-hak mereka dengan sempurna dan kemudian menikmati hasil kesempurnaan itu atau kebalikannya?
Kita menuntut anak kita saleh/salihah, pintar, dan berbagai tuntutan lainnya, akan tetapi kepada mereka tidak pernah kita berikan haknya dengan baik dan optimal.
Salah satu contoh hak dasar anak adalah soal pemberian aiu susu ibu (ASI) sebagai makanan terbaik di dunia, yang tak mampu digantikan oleh formula apa pun. Ternyata sampai saat ini belum semua ibu-ibu di Aceh memastikan hak itu dapat diberikan, dan jika merujuk kepada angka capaian Aceh untuk ASI, ternyata masih di bawah angka nasional. Angka nasional 63,9 persen, angka Aceh 50,2 % .
Hal itu dipicu oleh berbagai faktor, seperti lemahnya dukungan suami dan keluarga, pemahaman yang tidak cukup, praktik budaya yang menganggap ASI sebagai sumber penyakit, atau bahkan juga karena ketidaksiapan menjalankan fungsi sebagai ibu karena menjadi korban pernikahan usia dini. Itu semua adalah bagian kecil dari faktor penyebab yang harus dijawab dengan kerangka kebijakan, program, dan kegiatan yang lebih inovatif untuk mendorong pemenuhan hak anak dimaksud dan semua kembali kepada kalimat di awal soal “berbuat baik”.
Kembali ke Masjidilharam. Masjid ini mengajarkan banyak praktik baik dan berlaku sangat humanis terhadap perempuan dan anak-anak. Itu hal yang saya kagumi dan menjadi daya tarik untuk bisa kembali dan kembali lagi ke masjid mulia ini.
Imam Masjidilharam dalam khotbah Jumatnya saat saya ikut shalat jemaah, juga menyampaikan tentang keharusan berbuat baik, terutama kepada para tetangga.
Saya jadi teringat, pada masa kecil saya di sebuah kampung di Bireuen, ibu-ibu di kampong—mamak, miwa, dan nyakwa saya—hampir semuanya memiliki wajan besar. Kalau mareka memasak, jumlahnya tidak pernah sedikit. Soalnya, akan ada banyak blidie/mangkok dan ‘aneuk’ rantang berisi laukpauk yang kemudian akan diantar ke rumah-rumah rumah tetangga sebagai bukti kearifan lokal masyarakat Aceh sebagai orang beragama yang luar biasa. Ini juga dalam kerangka mendukung pemberian makanan sehat dan gratis, mendorong partisipasi masyarakat. Apalagi itu bernilai sedekah dengan penerima mamfaat kelompok rentan. Ini bagian yang bisa dikembangkan dan tentunya harus berlaku subsidi silang di mana harta-harta orang kaya menjadi salah satu sumber daya, tetapi tentu negara tetap menjadi pemegang mandat utama.
Banyak praktik baik yang sudah hampir punah dalam kehidupan sosial kita di Aceh. Semoga anak-anak kita tetap memiliki kenangan manis tentang contoh berbuat baik yang ditiru dari orang tua mareka., karena sejatinya anak adalah peniru utama.