Seleksi Direksi Bank Aceh Harus Bebas Intervensi Politik, OJK Diminta Awasi Ketat

BERITA, EKBIS5 Dilihat

BANDA ACEH — Proses seleksi jajaran direksi Bank Aceh Syariah (BAS) saat ini sedang berlangsung. Di tengah upaya mendorong bank daerah menjadi pilar utama sistem keuangan syariah di Tanah Rencong, muncul kekhawatiran bahwa proses rekrutmen pimpinan BAS kembali tercemari oleh kepentingan politik dan kalkulasi kekuasaan jangka pendek.

Pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala (USK), Dr Amri SE MSi memperingatkan bahwa jika seleksi direksi BAS kembali dilakukan tanpa prinsip profesionalisme dan akuntabilitas, maka transformasi perbankan syariah di Aceh akan stagnan dan kehilangan momentum.

“Kita tidak bisa lagi mentoleransi model seleksi direksi berbasis kompromi politik. Ini bukan era lama. Dunia perbankan sekarang sangat kompetitif, dan bank daerah harus dikelola dengan pendekatan bisnis, bukan birokrasi,” ujar Dr Amri, dalam keterangannya, Rabu (25/6/2025).

Dr. Amri menilai intervensi politik dalam proses seleksi direksi bukan hanya merusak citra kelembagaan, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas operasional dan kepercayaan publik terhadap BAS.

Dalam banyak kasus, pergantian pimpinan yang tidak berdasarkan meritokrasi sering diikuti oleh keputusan bisnis yang tidak produktif.

“Pergantian direksi yang terlalu sering, dan berdasarkan loyalitas politik, bukan hanya menghambat konsistensi strategi bisnis, tapi juga membuat lembaga ini rapuh dalam menghadapi risiko pasar,” jelasnya.

Menurutnya, seleksi direksi Bank Aceh harus sepenuhnya tunduk pada regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terutama ketentuan POJK No. 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan.

“OJK harus memastikan bahwa proses ini berlangsung bersih dan profesional. Bila ada dugaan pelanggaran, konflik kepentingan, atau rekam jejak negatif, maka calon harus ditolak. Jangan sampai OJK jadi penonton,” tegasnya.

OJK Bisa Jatuhkan Sanksi Serius
Ia menjelaskan, OJK memiliki mandat penuh untuk tidak hanya membatalkan calon yang tidak layak, tetapi juga memberikan sanksi administratif bagi bank yang tidak patuh terhadap prinsip fit and proper test.

Sanksi tersebut dapat berupa penolakan pengangkatan calon direksi, pembekuan hak suara pemegang saham pengendali jika terbukti ikut campur, serta pembatasan aktivitas usaha bank yang bisa berdampak langsung terhadap likuiditas dan ekspansi layanan.

“Ini bukan sekadar persoalan internal. Jika proses seleksi bermasalah, kepercayaan publik ikut terdampak. Dan bagi sektor keuangan, trust adalah segalanya,” ucapnya.

Kriteria Calon Direksi Harus Tegas dan Terukur
Dr. Amri menekankan bahwa seleksi direksi Bank Aceh tidak boleh mengabaikan kualitas individu. Sosok yang ideal, menurutnya, harus memenuhi beberapa kriteria utama.

Di antaranya memiliki pengalaman signifikan di sektor perbankan syariah nasional, bukan hanya administratif.

Paham strategi digitalisasi layanan, efisiensi biaya operasional, dan ekspansi pasar.

Melek pada regulasi OJK, serta menjunjung tinggi prinsip good governance dan compliance.

Serta mampu mendesain model bisnis yang tidak lagi bergantung pada dana APBA, melainkan aktif mendorong pembiayaan produktif dan penguatan sektor riil.

“Kita ingin bank ini tidak hanya eksis, tapi relevan dan kompetitif. Maka pemimpinnya harus berasal dari lingkungan profesional, bukan politik,” tegasnya.

Dalam analisisnya, Dr. Amri juga menyinggung fakta bahwa selama ini, BAS belum benar-benar memainkan peran strategis sebagai motor penggerak ekonomi syariah di Aceh. Justru sebagian besar aktivitasnya masih sebatas pengelolaan kas daerah dan menampung dana dari APBA.

Ia menyoroti beberapa kelemahan struktural yang membelenggu BAS seperti ketergantungan lebih dari 60% dana pihak ketiga berasal dari Pemda Aceh.

ROA (Return on Asset) rendah, hanya sekitar 0,5%, NPL (Non-Performing Loan) pernah menembus di atas 5%, jauh dari batas aman.

Minim inovasi digital, layanan stagnan, dan jaringan terbatas di luar Aceh. Serta aering terjadi pergantian direksi, yang membuat arah kebijakan tidak konsisten.

“Dengan profil seperti ini, kita harus jujur: Bank Aceh belum menjadi bank pembangunan. Ia masih terlalu sibuk mengurusi kas pemerintahan ketimbang ekonomi rakyat,” katanya.

Di sisi lain, Dr. Amri melihat bahwa sebenarnya BAS punya peluang emas yang belum dimanfaatkan maksimal. Setelah diberlakukannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS), banyak bank nasional seperti Mandiri, BRI, dan BNI menutup cabang mereka di Aceh.

“Kondisi ini semestinya jadi peluang untuk ekspansi. Tapi sayangnya, BAS belum cukup agresif memanfaatkan kekosongan pasar. Justru yang mulai masuk sekarang adalah fintech dari luar Aceh,” ungkapnya.

Dia mengingatkan bahwa jika Bank Aceh gagal membaca situasi, bukan tidak mungkin kekuatan keuangan syariah di Aceh malah dikuasai pihak luar yang lebih siap secara digital dan manajerial.

Dengan terpilihnya Muzakir Manaf (Mualem) sebagai Gubernur Aceh, publik berharap ada keberanian politik untuk menata ulang arah Bank Aceh secara lebih profesional dan berorientasi jangka panjang.

“Gubernur punya kuasa moral untuk membebaskan BAS dari pusaran kepentingan politik. Jangan sampai lembaga ini terus terjebak jadi perpanjangan tangan elite. Sudah waktunya BAS berdiri sebagai entitas bisnis yang sehat dan mandiri,” ujar Dr. Amri.

Ia menutup dengan peringatan: “Transformasi bukan sekadar wacana. Kalau tidak dilakukan sekarang, maka Bank Aceh hanya akan menjadi penonton di tengah pertumbuhan industri keuangan syariah nasional.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *