Prof Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan: Ambang Batas 15 Persen di UUPA Hambat Lahirnya Pemimpin Berkualitas

BERITA39 Dilihat

 

BANDA ACEH – Guru Besar Hukum Islam dalam Pemerintahan dan Politik UIN Ar-Raniry, Prof Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, menilai aturan ambang batas pencalonan kepala daerah minimal 15 persen kursi di DPRK/DPRA sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 terlalu tinggi. Menurutnya, aturan tersebut justru berpotensi menghalangi lahirnya calon pemimpin berkualitas di Aceh.

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menetapkan ambang batas pencalonan kepala daerah secara nasional hanya sebesar 8,5 persen. Perbedaan regulasi ini, kata Prof Hasanuddin, menjadi salah satu hambatan serius bagi proses demokrasi di Aceh yang seharusnya berjalan lebih terbuka.

“Setiap rakyat berhak berkiprah dalam politik tanpa dibatasi oleh aturan ambang batas. Ketika ambang batas diberlakukan terlalu tinggi, orang-orang brilian yang layak jadi pemimpin bisa terhalang. Akibatnya, bangsa ini dirugikan karena kesempatan melahirkan pemimpin terbaik semakin sempit,” tegas Prof Hasanuddin dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Partai Perjuangan Aceh (PPA) di Plenary Hall Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI), Sabtu (23/8/2025).

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa demokrasi yang sehat harus memberi ruang seluas-luasnya bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin. Regulasi yang memperketat ruang partisipasi politik hanya akan menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan masyarakat luas.

Oleh karena itu, ia mendorong agar judicial review terhadap UUPA dilakukan, sehingga ambang batas pencalonan kepala daerah di Aceh dapat menyesuaikan dengan putusan MK, yakni 8,5 persen kursi DPRK/DPRA.

FGD bertajuk “Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi, Revisi UUPA, dan Eksistensi Partai Politik Lokal Aceh” itu turut menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka. Di antaranya, Prof Dr Azhari SH MCL MA, politisi sekaligus mantan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar SAg, serta akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Dr Zainal Abidin SH MH. Kehadiran mereka memberi perspektif yang beragam mengenai dinamika politik dan hukum di Aceh pasca putusan MK.

Selain para akademisi dan praktisi politik, jajaran pimpinan Partai Perjuangan Aceh (PPA) juga hadir dalam forum tersebut. Tampak Ketua Umum PPA Prof Adjunct Dr Marniati SE MKes, Ketua Dewan Pembina Dedi Zefrizal ST, Sekjen T Rayuan Sukma, serta Ketua Harian Mursi. Kehadiran pimpinan PPA bersama para tokoh politik lokal dan nasional menambah bobot diskusi yang berlangsung dinamis.

Acara ini sekaligus menjadi ruang penting untuk memperkuat eksistensi partai lokal di Aceh. Para peserta berharap, dengan adanya judicial review, partai politik baik lokal maupun nasional di Aceh dapat memiliki peluang yang sama dalam mengusung calon pemimpin daerah, sehingga masyarakat Aceh benar-benar bisa memilih pemimpin terbaiknya tanpa dibatasi aturan yang diskriminatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *