Acehupdate.net, BANDA ACEH – Kegaduhan di Bank Aceh Syariah (BAS) saat ini tidak perlu terjadi jika semua taat azas.
Pemerintah Aceh dalam hal ini pemerintahan Gubernur Muzakir Manaf dan Wagub Fadhlullah atau Mualem-Dek Fad selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) harus mengembalikan posisi BAS pada khittahnya.
Hal itu disampaikan mantan Direksi Bank Aceh, Amal Hasan terkait gonjang-ganjing dan bongkar pasang direksi Bank Aceh yang akhirnya menimbulkan berbagai spekulasi di masyarakat dengan berbagai sudut pandang baik dari kalangan pengamat ekonomi keuangan dan perbankan, akademisi, LSM, kelompok mahasiswa, pemuda, maupun pemerhati kebijakan publik lainnya yang ikut bicara tentang BAS.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universtas Syiah Kuala (PP IKA USK) ini yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Dana dan Jasa BankAceh Syariah meminta agar seluruh stakeholder untuk lebih bijak dalam memberikan komentar dan pendapatnya terkait isu atau polemik yang sedang terjadi di BAS.
“Semua pihak harus berhati-hati, ini lembaga keuangan yang tatakelola dan regulasinya diatur dengan sangat ketat,” terang Amal Hasan, Rabu (26/3).
Amal Hasan berharap Pemerintah Aceh selaku pemegang saham tidak menempatkan pengelolaan Bank Aceh sama dengan organ otonom dalam struktur pemerintahan sebagaimana Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA).
“Apa yang terjadi pada Bank Aceh belakangan ini di antaranya akibat kebijakan yang keliru dari pemangku kepentingan, tidak mengikuti prosedur, semua dilakukan tanpa memperhatikan akar masalahnya dan potensi efek risiko yang terjadi pada bank,” jelas Amal Hasan.
Amal Hasan menilai, bongkar pasang manajemen secara serampangan telah berdampak pada terganggunya Governance Structure Bank Aceh, yang pada akhirnya juga merembes ke persoalan Good Corporate Governance (GCG) dan berdampak pada berbagai aktivitas operasional Bank Aceh.
“Pemerintah Aceh selaku pemegang saham sepertinya tidak mendapatkan informasi yang utuh tentang permasalahan yang terjadi di BAS. Sehingga kebijakan yang diambil cenderung menonjolkan ego kekuasaan secara full power, karena merasa sebagai pemilik bank secara absolut.
Padahal kepemilikan yang dimaksud adalah dalam konteks representasi ex officio selama masa jabatan. Sejatinya BAS itu adalah milik rakyat Aceh,” kata Amal Hasan.
Amal Hasan yang juga Ketua Perhumas Indonesia Provinsi Aceh mengaku miris melihat gonjang-ganjing yang menerpa Bank Aceh belakangan ini.
BAS yang dibangun dengan susah payah, hingga tumbuh berkembang sampai saat ini dikhawatirkan akan tidak optimal menjalankan fungsinya sebagai agen pembangunan daerah.
Amal Hasan meminta Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Mualem- Dek Fadh dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengembalikan posisi BAS pada khitahnya.
“Pemerintah Aceh harus memahami tentang potensi risiko yang bisa timbul terhadap Bank Aceh dari setiap kebijakan politis yang diambil. Setidaknya hampir satu dekade pemerintahan hingga saat ini, kita melihat dan merasakan, bagaimana sebuah entitas bisnis milik daerah menjadi arena tarik menarik kepentingan, yang selalu menimbulkan gejolak dan instabilitas baik di internal maupun eksternal BAS.
Padahal sebagai lembaga keuangan yang prinsip dasarnya kepercayaan, segala bentuk polemik dan kegaduhan dengan isu-isu politis harus dihindari.
Mestinya historis dan pengalaman masa lampau itu menjadi pelajaran bagi pemangku kepentingan saat ini,” tambah Amal Hasan.
Sebenarnya, kata Amal Hasan, kalau semua taat azas penataan dan pengelolaan berbagai isu dan kegaduhan yang muncul menjadi polemik berkepanjangan di BAS dapat diatasi lebih mudah.
Paling tidak dengan tiga skema yang krusial dan harus dilakukan secara bersamaan.
Pertama, terkait political will dari pemerintah sebagai pemegang saham (internal dan eksternal).
Kedua, terkait dengan leadership (internal). Ketiga, terkait dengan tatakelola (internal dan eksternal).
Untuk ketiga skema inilah para pemegang saham terutama PSP harus mendapatkan informasi yang utuh dari pihak pihak yang kredibel agar substansi dan akar permasalahan polemik BAS dapat diselesaikan secara baik dan bijak.
“Ini bukan hanya berbicara soal siapa sosok yang akan menjadi Dirut, Direksi atau Komisaris. Orang atau figur tertentu akan datang dan pergi serta dapat berganti setiap waktu tapi harus diingat dan dipastikan bisnis bank tidak boleh berhenti,” kata Amal Hasan.
Karena itu pula Amal Hasan menilai, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator akan berhati-hati dengan isu politisasi yang terjadi di Bank Aceh.
Apalagi ini terkait dengan penentuan orang-orang yang akan disiapkan untuk mengisi Governance Structure Bank Aceh di level Direksi dan Komisaris. Tentu OJK akan mempertimbangkan berbagai faktor secara objektif.
“OJK sebagai pihak yang independen merupakan benteng terakhir dalam proses pemilihan Direksi Bank Aceh. Kita tidak perlu mengajari OJK apalagi mencoba-coba mengintervensi. Biarkan proses berjalan sesuai mekanisme dan prosedur yang telah diatur di dalam ketentuan UU dan POJK serta peraturan peraturan terkait lainnya,” pungkas Amal.