Pakar Hukum: Banyak Pasal UUPA Belum Memiliki Qanun Turunan

BERITA, HUKUM7 Dilihat

BANDA ACEH – Pakar hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Mawardi Ismail, menilai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) masih menghadapi berbagai persoalan serius. Salah satunya, banyak pasal dalam UUPA yang hingga kini belum memiliki aturan turunan dalam bentuk qanun.

Menurutnya, kondisi ini perlu dikaji secara serius dan komprehensif agar semangat otonomi khusus yang diamanahkan dalam UUPA tidak terus-menerus tersendat di level regulasi.

“Kalau ditanya persis jumlah pasal yang belum memiliki qanun turunan, tentu memerlukan kajian mendalam. Ada yang secara eksplisit diharuskan diatur dengan qanun, ada pula yang tidak disebutkan secara tegas, tetapi karena menyangkut kewenangan Pemerintah Aceh, maka seharusnya diatur dalam qanun,” kata Mawardi, Rabu, 20 Agustus 2025.

Mawardi mencontohkan, hingga kini belum ada qanun terkait pengelolaan bandara dan pelabuhan, padahal mandatnya sudah jelas tertuang dalam UUPA. Beberapa pasal lain memang sudah diterjemahkan dalam qanun atau peraturan pemerintah, tetapi tak sedikit yang macet di pelaksanaan.

“Misalnya qanun tentang bendera. Dari sisi legalitas pembentukannya sudah sah, tetapi secara politis pemerintah pusat tidak memberi lampu hijau. Akibatnya aturan itu tidak bisa dijalankan hingga kini. Jadi, ada aturan yang sudah terbentuk, tapi mandek karena persoalan politik dan tarik-menarik kewenangan,” jelasnya.

Selain itu, sejumlah qanun menghadapi kendala implementasi, seperti qanun pertanahan dan perpres tentang pengalihan kewenangan. Perbedaan tafsir antara Pemerintah Aceh dan pusat menjadi penyebab utama stagnasi.

Mawardi juga menyoroti kewenangan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan penanaman modal asing. UUPA menegaskan bahwa kewenangan itu berada di bawah Pemerintah Aceh, namun praktik di lapangan tidak berjalan sesuai aturan.

“Kementerian Dalam Negeri menganggap kewenangan penanaman modal asing ada pada Pemerintah Aceh. Tapi Kementerian Investasi berpendapat itu kewenangan pemerintah pusat. Perbedaan pandangan inilah yang membuat pelaksanaan UUPA sering terhambat,” tegasnya.

Pakar hukum tata negara ini juga menyoroti aspek fundamental lain penetapan nama “Aceh” sebagai nama provinsi yang hingga kini belum sah secara hukum. Pasal 251 UUPA mengatur bahwa penetapan nama Aceh harus dituangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) atas usulan gubernur dan DPRA. Namun, hingga kini PP tersebut tak kunjung terbit.

“Karena itu, penyebutan nama Aceh sebagai provinsi sebenarnya masih belum legal, sebab tidak sesuai dengan amanat UUPA,” ujarnya.

Menanggapi rencana revisi UUPA, Mawardi menilai langkah ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki kelemahan regulasi sekaligus menyempurnakan aturan agar lebih adaptif dengan kebutuhan kekinian.

Ia membagi kebutuhan revisi ke dalam empat kluster utama, pertama, perubahan wajib secara hukum, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk harmonisasi aturan yang sudah tidak relevan.

Kedua, harmonisasi kewenangan pusat dan Aceh, contohnya, perselisihan hasil pilkada yang dalam UUPA disebut ranah Mahkamah Agung, padahal saat ini sudah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, melegalkan praktik tanpa dasar hukum, seperti penggunaan nama Aceh hanya dengan pergub, serta nomenklatur di DPR Aceh yang berubah tanpa payung hukum.

Keempat, mengakomodasi kebutuhan strategis Aceh, meliputi dana otonomi khusus, bagi hasil migas lepas pantai, kewenangan SDA non-migas, penanaman modal asing, hingga aturan pengelolaan bandara dan pelabuhan.

“Hal-hal seperti inilah yang harus dikaji lebih dulu sebelum dibahas bersama DPR RI dalam revisi UUPA,” pungkasnya.

Sebagai informasi, UUPA lahir sebagai implementasi dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Undang-undang ini menjadi landasan utama penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh, yang di dalamnya memberi kewenangan luas bagi Aceh untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk melalui produk hukum qanun.

Qanun menempati posisi strategis sebagai instrumen hukum yang bersifat lex specialis di Aceh, sekaligus menjadi manifestasi dari identitas, aspirasi politik, dan penerapan syariat Islam. Namun, hingga kini banyak mandat UUPA yang belum sepenuhnya dijalankan karena keterlambatan pembentukan qanun, tarik-menarik kewenangan dengan pusat, hingga faktor politik.

Dengan usia 20 tahun MoU Helsinki dan hampir dua dekade lahirnya UUPA, momentum revisi kali ini dinilai krusial untuk memastikan amanat perdamaian benar-benar diwujudkan dalam sistem hukum yang lebih kokoh.***

 

Sumber: Ajnn

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *