Banda Aceh— Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Sa’id Faisal, S.T Mewakili Kadis ESDM Taufik ST., menegaskan bahwa sektor pertambangan Aceh memiliki potensi besar yang dapat menjadi penggerak ekonomi daerah, asalkan dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat.
Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Publik “Masa Depan Pertambangan Aceh: Harapan atau Ancaman?” di Banda Aceh. 28 Oktober 2025
Dalam paparannya, Sa’id Faisal mengungkapkan bahwa hingga tahun 2025, Aceh memiliki 63 izin usaha pertambangan (IUP) yang meliputi sektor mineral logam dan batubara. Dari jumlah tersebut, 11 perusahaan telah memasuki tahap operasi produksi, sedangkan sisanya masih dalam tahap eksplorasi. “Dari total izin itu, 70 persen merupakan tahap eksplorasi, dan hanya 30 persen yang sudah produksi aktif,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa pendapatan Aceh dari sektor pertambangan sejak 2017 hingga 2025 telah mencapai sekitar Rp2,5 triliun.
Angka tersebut berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan iuran tetap dari perusahaan tambang. “Kontribusi ini sangat signifikan bagi pendapatan daerah. Tapi kuncinya adalah pengelolaan yang baik dan taat aturan,” ujar Sa’id Faisal.
Menurutnya, kegiatan pertambangan yang berjalan saat ini sebagian besar masih dalam tahap eksplorasi, yang memerlukan waktu, investasi besar, dan riset mendalam.
Eksplorasi itu ibarat berjudi secara ilmiah. Perusahaan menghabiskan dana besar untuk pengeboran dan survei. Jika hasilnya tidak layak secara ekonomi atau lingkungan, mereka akan mundur,” ujarnya.
Sa’id Faisal menambahkan, Aceh memerlukan investasi yang sehat dan bertanggung jawab, bukan hanya mengejar keuntungan semata. Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah berkomitmen menciptakan iklim investasi yang nyaman sekaligus memastikan tanggung jawab sosial dan lingkungan dari perusahaan tambang.
Kita butuh investasi, tapi investasi yang peduli lingkungan dan masyarakat. Itu wajib,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menjelaskan bahwa perusahaan tambang diwajibkan melaksanakan program pemberdayaan masyarakat sekitar tambang dengan menyisihkan minimal 1 persen dari total nilai produksi. Dana tersebut dialokasikan untuk kegiatan sosial, pendidikan, dan peningkatan ekonomi masyarakat di wilayah terdampak tambang.
“Jadi manfaatnya bukan hanya bagi negara dan daerah, tapi juga langsung dirasakan oleh rakyat di lingkar tambang,” tambahnya.
Sa’id Faisal juga menyoroti pentingnya moratorium izin tambang yang diberlakukan sejak 2016 untuk melakukan penataan izin dan evaluasi terhadap perusahaan yang tidak aktif.
“Sebelum moratorium, jumlah IUP sempat mencapai 136. Setelah penertiban, kini hanya tersisa 63 yang aktif dan legal. Ini langkah penting menjaga keberlanjutan dan kepastian hukum di sektor tambang Aceh,” katanya.
Di sisi lain, Faisal menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap isu lingkungan. Pengawasan terhadap perusahaan tambang, kata dia, dilakukan secara ketat agar kegiatan eksploitasi sumber daya alam tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
“Kegiatan tambang harus sesuai Good Mining Practice. Jika tidak layak secara teknis, sosial, maupun lingkungan, maka tidak bisa dilanjutkan,” tegasnya.
Mengakhiri paparannya, Sa’id Faisal mengajak seluruh pemangku kepentingan pemerintah, perusahaan, akademisi, dan masyarakat untuk bersama-sama membangun paradigma baru tentang tambang di Aceh.
“Pertambangan bukan ancaman bila dikelola dengan akal dan hati. Mari kita jadikan sektor ini harapan baru untuk Aceh, dengan semangat keadilan, transparansi, dan keberlanjutan,” tutupnya penuh keyakinan.






