Jejak Umat Hindu yang Hidup Berdampingan di Aceh

BERITA2 Dilihat

BANDA ACEH – Penegakan syariat Islam di Aceh tidak menjadi penghalang bagi umat non-Muslim untuk hidup berdampingan secara harmonis. Rada Krisna, pendeta Hindu dari Kuil Shri Palani Andawetr Koil, Gampong Keudah, Kecamatan Kuta Raja, menilai selama warga non-Muslim menjaga sopan santun dan mematuhi norma sosial, mereka tetap dihargai.

“Penegakan syariat islam menurut saya dengan jaga aturan main saja. Coba berpakaian sopan maka tidak ditegur,” kata Rada krisna, Jumat 18 April 2025.

Menurutnya, toleransi antarumat beragama di Aceh sangat tinggi. Komunitas Hindu telah hidup berdampingan dengan umat Muslim sejak lama.

“Kami sudah ada di Aceh sejak 1934, jauh sebelum Indonesia merdeka,” katanya.

Krisna juga menceritakan bagaimana komunitas Hindu di Banda Aceh bangkit setelah terdampak tsunami 2004.

“Kuil kami sempat hancur. Namun antara 2006 hingga 2012, berkat bantuan Kementerian Agama Provinsi, swadaya masyarakat, dan dukungan mendiang Pak Mawardi, kami bisa membangun kembali kuil ini,” jelasnya.

Ia berharap pemerintah kota memberikan perhatian lebih terhadap komunitas non-Muslim, termasuk dukungan dana untuk kegiatan keagamaan dan kebudayaan.

“Kami turut mengangkat nilai-nilai toleransi dan potensi wisata religi di Aceh,” tambahnya.

Pada Jumat, 18 April 2025, umat Hindu di Banda Aceh merayakan Cithirai Maha Puja, sebuah perayaan tahunan untuk memperingati hari kelahiran Dewa Muruga, yang dipusatkan di Kuil Shri Palani Andawetr Koil.

Perayaan dipimpin oleh pemuka agama Naindra, ditandai dengan doa dan prosesi pembakaran api sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewa Muruga.

“Cithirai Maha Puja merupakan ritual penting yang wajib dirayakan. Hari ini menandai kemenangan Dewa Muruga atas kekuatan jahat,” kata Krisna.

Sekitar 25 umat Hindu dari Banda Aceh, Medan, hingga Malaysia turut hadir dalam perayaan ini. Krisna menyebut perayaan berlangsung lancar berkat dukungan masyarakat dan komitmen pemerintah daerah. Perayaan berlangsung selama tiga hari. Hari pertama diisi dengan prosesi pembakaran api di pagi hari dan pembacaan kitab suci pada sore harinya. Hari kedua diisi dengan sembahyang, sedangkan puncaknya digelar pada Minggu (20/4), pukul 09.00–10.00 WIB, dengan arak-arakan Archa dan ritual pelepasan nazar.

“Pelepasan nazar adalah bentuk pengorbanan setelah doa umat terkabul, umumnya terkait kesehatan atau kesulitan usaha,” jelas Krisna.

Ia menambahkan bahwa hubungan antarumat beragama di Aceh sangat harmonis.

“Setelah tsunami, banyak warga Muslim yang membantu kami. Bahkan ada kesamaan budaya antara Hindu dan Islam, seperti penggunaan daun temuru dalam masakan serta tradisi peusijuk,” tutupnya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *