FGD PPA Bahas Putusan MK 135, Tegaskan Aceh Harus Ikuti Jejak Sabah dengan Partai Lokal yang Kuat

BERITA13 Dilihat

 

BANDA ACEH – Partai Perjuangan Aceh (PPA) mencatat sejarah sebagai partai lokal pertama di Aceh yang berinisiatif menggelar Focus Group Discussion (FGD) terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Diskusi yang berlangsung di Kampus Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI), Sabtu (23/8/2025), ini menjadi ruang strategis untuk mengkaji dinamika politik, hukum, dan masa depan demokrasi Aceh pasca dua dekade perdamaian.

FGD ini dihadiri langsung oleh Ketua Umum PPA, Prof. Adjunct Dr. Marniati, S.E., M.Kes., Ketua Dewan Pembina Dedi Zefrizal, ST, Sekjen PPA Rayuan Sukma, serta Ketua Harian Mursi. Turut hadir pula anggota DPRA, DPRK, serta tokoh internal dan eksternal partai. Kegiatan ini menghadirkan para akademisi dan tokoh penting Aceh sebagai narasumber, dengan moderator Arman Fauzi, aktivis komunikasi.

Sejumlah pemateri dihadirkan dalam diskusi penting ini, di antaranya Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA yang mengupas isu konflik dan rekonsiliasi, Prof. Dr. Azhari, SH., MCL., MA yang membahas peluang dan tantangan revisi UUPA, Muhammad Nazar, S.Ag yang menyoroti urgensi penguatan partai lokal, serta Dr. Zainal Abidin, SH., MH yang memberikan analisis atas Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 dan No. 135/PUU-XXII/2024.

Prof. Hasanuddin menyampaikan apresiasi kepada PPA atas inisiatif forum ini. Ia menegaskan bahwa Aceh saat ini sangat membutuhkan rekonsiliasi menyeluruh dengan melibatkan para tokoh, bahkan tokoh internasional. “Aceh tidak boleh lagi terjebak dalam konflik politik. Jangan ada lagi parliamentary threshold yang menutup ruang demokrasi. Kita harus memastikan pemimpin Aceh dipilih berdasarkan kualitas,” ujarnya.

Sementara itu, Prof. Azhari menekankan bahwa revisi UUPA merupakan kewajiban moral dan politik yang harus diperjuangkan. Menurutnya, pasal 229 dan 230 UUPA yang mengatur KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) menjadi bagian penting yang tidak boleh diabaikan.

“Aspek politik dan ekonomi dalam UUPA juga harus direvisi agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan rakyat Aceh,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Muhammad Nazar menilai keberadaan partai lokal sangat krusial untuk menjaga kepentingan Aceh. Ia menegaskan bahwa partai lokal bukan hanya simbol, melainkan instrumen penting untuk memastikan aspirasi Aceh tersalurkan.

“Parlok adalah amanat perdamaian. Meski kerap ditakuti pusat, Parlok harus tetap kuat. PPA telah menunjukkan paradigma sehat yang harus terus dijaga,” ungkap mantan Wakil Gubernur Aceh itu.

 

Dr. Zainal Abidin menambahkan bahwa Putusan MK Nomor 135 harus diterima dan dilaksanakan, bukan sekadar diperdebatkan. Ia menilai keputusan tersebut dapat menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal.

“Bagi Aceh, putusan ini membuka ruang revisi UUPA yang lebih menyeluruh agar sejalan dengan prinsip otonomi khusus,” paparnya.

 

FGD ini juga menyoroti ambang batas 15 persen kursi DPRA bagi partai politik lokal dalam mengusung calon kepala daerah. Aturan tersebut dinilai membatasi ruang demokrasi dan partisipasi masyarakat. Narasumber sepakat bahwa sistem politik di Aceh harus lebih inklusif agar tidak mematikan peran partai kecil dan kader muda yang potensial.

 

Ketua Umum PPA, Prof. Marniati, menegaskan bahwa diskusi ini digagas sebagai bentuk kepedulian partainya terhadap masa depan demokrasi Aceh. Ia menilai Putusan MK Nomor 135 sangat memukul partai lokal, namun harus dijadikan momentum untuk memperjuangkan revisi UUPA secara benar.

“Aceh tidak boleh berjalan sendiri, dunia internasional juga akan terus memperhatikan perjalanan demokrasi kita. Malaysia telah menunjukkan bagaimana partai lokal di Sabah bisa berjaya, Aceh juga harus menempuh jalan yang sama,” pungkasnya.

 

Dengan terlaksananya FGD ini, PPA berharap dapat melahirkan rekomendasi konkret yang akan disampaikan kepada DPRA dan pemerintah pusat. Forum ini menegaskan komitmen partai lokal untuk memperkuat perdamaian, memperjuangkan otonomi khusus, dan memastikan demokrasi di Aceh berjalan sesuai semangat MoU Helsinki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *