Oleh : Prof.Dr.M.Shabri Abd.Majid.SE.M.Ec (Ketua Dewan Syariah Aceh)
Dalam rangka memperkuat swasembada pangan, pemerataan ekonomi dan mewujudkan desa mandiri menuju Indonesia Emas 2045, Presiden Prabowo Subianto berambisi mendirikan 80.000 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih. Program ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 yang berisi Percepatan Pembentukan Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih.
Koperasi ini yang lebih dikenal dengan nama Koperasi Merah Putih (KMP) ditargetkan menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial yang menyediakan berbagai layanan kebutuhan masyarakat pedesaan, seperti sembako, fasilitas simpan pinjam, klinik dan apotek desa. Juga penyimpanan hasil pertanian dan perikanan serta distribusi logistik dengan harga terjangkau. Pemerintah pun menyiapkan dana hingga Rp400 triliun untuk dialokasikan antara Rp3 sd Rp5 miliar untuk setiap KMP.
Pemerintah menargetken KMP sudah terbentuk di seluruh Indonesia pada Juli 2025 dan mulai beroperasi pada September 2025. Pemerintah Aceh melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), menyampaikan bahwa sampai saat ini baru terbentuk 109 unit KMP (atau 1,68%) dari target 6.500 unit KMP di seluruh desa yang ada di Aceh. (Serambi Indonesia, 18 Mei 2025).
Karena pentingnya kontribusi KMP dalam mewujudkan pemerataan ekonomi dan menciptakan jutaan lapangan kerja dengan menggerakkan potensi desa, Dewan Syariah Aceh (DSA) sangat mendukung upaya pemerintah untuk segera mendirikan KMP di seluruh desa di wilayah Aceh. KMP sebagai lembaga keuangan mikro berbasis komunitas, berfungsi sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat Gampong melalui penyediaan akses pembiayaan dan pembinaan ekonomi lokal yang dilandasi nilai-nilai keadilan, gotong royong, dan keberkahan. Koperasi ini menjadi saluran utama ekonomi kerakyatan yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat desa serta menjadi ujung tombak pencapaian kesejahteraan yang berkelanjutan.
DSA sebagai lembaga resmi yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 56 Tahun 2020 diberi amanah untuk mengawasi lembaga keuangan syariah (LKS), termasuk koperasi di Aceh agar beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DSA mengharapkan setiap pihak yang memiliki semangat dan visi ekonomi umat, terlebih yang darah dan cita dirinya terhubung langsung dengan nilai-nilai keislaman, wajib memberikan dukungan penuh agar semua KMP di Aceh beroperasi sesuai syariah.
KMP diyakini dapat menjadi lokomotif kemandirian ekonomi desa yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan menjadi rahmat dan berkah bagi masyarakat Aceh, jika KMP terbebas dari praktik-praktik riba, gharar, maysir, dan elemen-elemen haram lainnya. KMP di Aceh bukan syariah sekadar formalitas administratif saja, tetapi juga harus syariah pula secara substansial, menggunakan akad-akad syariah dan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mengawasinya.
KMP harus beroperasi sesuai syariah bukan hanya merupakan pilihan nilai, tetapi juga amanah Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang berbunyi: “Syariat Islam dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, ibadah, dan syiar Islam, serta mengatur kehidupan umat Islam dalam bidang muamalah.” Lebih spesifik, Pasal 2 Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan: (1) Lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan prinsip syari;ah; dan (2) Akad keuangan di Aceh menggunakan prinsip syari’ah.
Untuk mengawasi lembaga keuangan menggunakan prinsip syariah di seluruh pelosok Aceh termasuk 6.500 unit KMP yang segera hadir di Aceh, pemerintah Aceh membentuk DSA di tingkat Provinsi. Sebagai wujud pengawasan dan konsolidasi integratif dan sistemik, Pemerintah Aceh telah mengarahkan seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera membentuk Dewan Syariah Kabupaten/Kota (DSK). DSK memiliki peran strategis sebagai perpanjangan tangan DSA dalam mengawasi penerapan prinsip-prinsip syariah pada semua lembaga keuangan termasuk koperasi yang berada di wilayah masing-masing.
Arahan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Pergub Aceh No. 56 Tahun 2020 yang mewajibkan koordinasi DSA dengan DSK dan menetapkan bahwa rapat koordinasi antara DSK dan DSA harus dilaksanakan minimal dua kali dalam satu tahun. Tapi sayangnya, hingga hari ini hanya baru terbentuk 3 DSK, yaitu di Kota Banda Aceh, Kabupaten Simeulue dan Kota Subulussalam. Diharapkan Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya untuk segera membentuk DSK seperti Kabupaten Pidie Jaya dan Kabupaten Bener Meriah yang telah berkomitmen untuk membentuk DSK pada tahun 2025 ini.
Selanjutnya, DSA juga menegaskan untuk dapat diakui sebagai koperasi syariah yang sah dan kredibel, maka setiap KMP wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 8 Pergub Aceh No. 56 Tahun 2020, di mana pengangkatan DPS harus memperoleh rekomendasi dari DSA, dan DPS tersebut wajib memiliki kompetensi syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
Sebagai bentuk penguatan pengawasan dan akuntabilitas, DSA telah menyurati instansi terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota guna memastikan bahwa seluruh KMP mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam struktur kelembagaannya. Dengan adanya dukungan regulatif dari UUPA, Qanun LKS, Pergub 56/2020, serta arahan strategis dari Pemerintah Aceh, maka KMP di Nanggroe Syariat memiliki fondasi kuat untuk tampil sebagai pilar ekonomi Islam di tingkat gampong. Melalui sinergi DSA, DSK, DPS, pemerintah daerah, dan masyarakat gampong, cita-cita ekonomi berkeadilan dan bermartabat, Insya Allah dapat terwujud, Aamin…!