Euforia Aksi Unjuk Rasa dan Duka Keluarga Wahidin

BERITA5 Dilihat

Oleh: Nurlis Effendi

 

RUMAH Wahidin terletak di Bueng Bakjok, Kuta Baroe, Aceh Besar. Di jendela rumahnya terpasang tulisan “Keluarga Tidak Mampu Penerima Bantuan BKH”. Di sinilah, Wahidin (50) bersama istrinya, Mardiana, membesarkan lima anak mereka. Pada Kamis lalu, di depan rumah mereka terpasang tenda dan kursi berwarna oranye. Beberapa bendera merah juga dipasang di sepanjang jalan menuju rumah mereka. Warga yang hadir tampak berwajah duka.

Mardiana, dengan mata sembab, menyambut kedatangan saya bersama tim rektorat dan para dekan dari Universitas Abulyatama. Air mata Mardiana terus mengalir, sementara anak-anaknya terlihat menangis. Si bungsu, yang baru masuk sekolah dasar, tampak bingung, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Keluarga kami hanya ingin tahu, suami saya berjuang untuk siapa dan untuk apa? Dia berada di pihak mana?” tanya Mardiana dengan suara bergetar. Air matanya semakin deras. Saya merasa tidak mampu menahan kesedihan ini. Saya menjelaskan bahwa Wahidin meninggal dunia di masjid yang terletak di samping kampus Universitas Abulyatama, Lampoh Keudee, Aceh Besar.

Pada hari itu, terjadi gelombang unjuk rasa dari kalangan mahasiswa, dosen, dan ratusan orang dari luar kampus.

Sebagai anggota Satgas, Wahidin yang bertugas di pintu gerbang kampus, menjadi bagian terdepan dalam menghadapi pengunjuk rasa setelah mereka merubuhkan gerbang masuk kampus. Wahidin terjerembab dan terinjak-injak oleh para pengunjuk rasa.

Tidak ada yang dapat memastikan apakah itu sengaja dilakukan atau tidak. Yang jelas, tidak ada yang berusaha menolong Wahidin yang tergeletak di jalan. Dengan susah payah, Wahidin berusaha bangkit dan tertatih-tatih menuju masjid, tempat di mana ia menghembuskan napas terakhir.

Cerita ini saya peroleh dari kesaksian rekan-rekan sesama Satgas. Jenazahnya kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pertamedika Ummi Rosnati, di mana perawat mengatakan bahwa Wahidin telah meninggal saat tiba di rumah sakit. Beberapa video yang beredar menunjukkan kekerasan yang terjadi.

Keributan berawal dari lemparan batu yang berasal dari rumah berpagar kokoh di samping jalan masuk kampus, berhadapan dengan masjid. Kekerasan tidak hanya menimpa Wahidin. Dalam video lain, terlihat seorang Satgas yang dikeroyok oleh mahasiswa dan dosen di kebun dekat masjid. Bajunya dikoyak, dipukuli dengan kayu, serta ditendang dan dipukul. Saya belum mengetahui bagaimana nasibnya.

Saya kemudian menjelaskan kepada Mardiana bahwa Wahidin bekerja untuk pemilik kampus, Rusli Bintang, sebagai Satgas yang sah, berdasarkan Surat Keputusan dari Yayasan Abulyatama Aceh.

“Sudah sebulan terakhir dia bekerja sebagai Satgas Yayasan Abulyatama Aceh milik Pak Rusli Bintang,” ujar M. Hasan, Geuchik Bueng Bakjok, ketika saya berkunjung ke rumah Mardiana pada Kamis (17 April 2025).

Mardiana tampak sedikit lega mengetahui bahwa suaminya berada pada posisi yang benar. Di tengah duka mendalam keluarga Wahidin dan sejumlah Satgas yang masih dirawat akibat luka-luka, mungkin Kepala LLDIKTI Wilayah XIII Aceh, Rizal Munadi, sedang berada di ruang kerjanya yang berpendingin udara.

Meski begitu, dia tampaknya memilih untuk diam, walaupun pasti sudah mengetahui keadaan ini. Begitu juga dengan para aktor yang menggerakkan unjuk rasa. Mereka mungkin tengah tertawa terbahak-bahak melihat kekerasan terhadap para Satgas, bahkan ada yang menganggap kematian Wahidin sebagai lelucon. Terlebih, sorak-sorai mereka terdengar di media sosial yang menertawakan kekerasan tersebut.

Saya juga memperoleh tangkapan layar percakapan di grup WhatsApp para penggerak unjuk rasa. Di sana, mereka memberikan perintah untuk menyusun narasi yang akan menyudutkan korban kekerasan. Mereka berusaha menggambarkan para Satgas sebagai preman. Padahal, Satgas yang meninggal dan dianiaya itu bekerja secara sah berdasarkan Surat Keputusan.

Saya jujur bingung dengan aksi unjuk rasa ini. Mereka menuntut agar pendidikan tetap berjalan sebagai hak mahasiswa, dan para dosen menuntut hak untuk mengajar. Seolah-olah kampus dalam keadaan mencekam dan tidak dapat diakses. Padahal, saya membuka lebar pintu kampus, ruang kelas, dan seluruh fasilitas untuk kegiatan akademik.

Saya tidak pernah melarang aktivitas kampus, bahkan tidak menghalangi unjuk rasa, karena saya menganggap itu sebagai bentuk penyampaian aspirasi yang wajar. Namun, kekerasan dan pencabutan nyawa tidak bisa diterima.

Saya dengan tegas mengecam tindakan kekerasan ini. Meskipun hingga kini saya belum melihat adanya keadilan yang datang, saya percaya kebenaran pasti akan terungkap.***

 

Penulis adalah Rektor Universitas Abulyatama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *