JAKARTA — Pemerintah Israel dilaporkan telah menyetujui rencana pendudukan militer wilayah Gaza sebagai bagian dari strategi militernya melawan kelompok Hamas. Rencana ini memicu kekhawatiran luas mengenai potensi relokasi paksa terhadap warga sipil Palestina.
Menurut laporan sejumlah media internasional, rencana tersebut mencakup pendudukan penuh Jalur Gaza dan pemindahan warga ke bagian selatan wilayah itu. Langkah ini disebut-sebut bertujuan mendukung upaya Israel mengalahkan Hamas dan membebaskan para sandera yang masih ditahan sejak serangan kelompok tersebut ke wilayah Israel pada Oktober 2023.
“Rencana tersebut akan mencakup, antara lain, penaklukan Jalur Gaza dan penguasaan wilayah tersebut, serta pemindahan penduduk Gaza ke selatan untuk melindungi mereka,” kata seorang pejabat Israel, dikutip dari Agence France-Presse (AFP), Selasa, 6 Mei 2025.
Pasukan Pertahanan Israel, Eyal Zamir, juga mengumumkan mobilisasi puluhan ribu pasukan cadangan tambahan untuk memperkuat operasi militer. Ia menyatakan bahwa langkah ini diperlukan guna “meningkatkan tekanan terhadap Hamas.”
Hamas sebelumnya melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Israel pada Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan mengakibatkan penculikan puluhan warga. Sebagai balasan, Israel meluncurkan serangan udara dan darat ke Gaza yang menurut data otoritas lokal dan organisasi internasional telah menewaskan lebih dari 50.000 orang, mayoritas warga sipil.
Israel menghadapi kritik internasional atas dugaan serangan tanpa pandang bulu, penghancuran infrastruktur sipil, serta penghalangan distribusi bantuan kemanusiaan. Situasi kemanusiaan di Gaza kian memburuk akibat blokade yang menyebabkan kelangkaan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan relokasi “sukarela” warga Gaza ke negara-negara seperti Yordania dan Mesir. Usulan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambutnya sebagai “ide luar biasa” yang patut didorong.
Rencana Israel ini telah memicu kekhawatiran dari komunitas internasional mengenai potensi pelanggaran hukum humaniter internasional, terutama terkait hak warga sipil untuk tetap tinggal di tanah mereka. Beberapa organisasi hak asasi manusia menyerukan penyelidikan independen atas kebijakan tersebut.***