BANDA ACEH – Republik Indonesia (RI) telah merdeka selama 80 tahun dan warga Aceh sudah hidup damai selama dua dekade. Lantas bagaimana para perempuan memaknai kemerdekaan dan perdamaian saat ini, dalam menyuarakan isu pemenuhan hak serta perlindungan perempuan dan anak di Aceh?
Tokoh perempuan akar rumput Pidie sekaligus koordinator program Flower Aceh, Ernawati, menyebutkan makna 20 tahun perdamaian Aceh dan 80 tahun Indonesia merdeka tidak sekadar lepas dari kontak senjata. Namun baginya, makna damai dan merdeka jauh lebih luas, yaitu ruang untuk hidup tenang, bekerja tanpa rasa takut dan kesempatan yang setara untuk didengar.
“Saya merasakan bahwa damai memberi ruang untuk tumbuh, dan merdeka memberi suara untuk didengar,” kata Ernawati, Selasa, 19 Agustus 2025.
Ernawati melihat hingga 80 tahun Indonesia merdeka, masih ada kemiskinan, ketidakadilan, dan suara perempuan yang sering diabaikan.
Hal senada dirasakan oleh Sri Mayuliza, salah seorang anak korban konflik di Aceh Utara. Dia merasakan bahwa 20 tahun perdamaian sebagai berkah karena bisa tumbuh dalam suasana yang lebih tenang, berbeda dengan apa yang pernah dialami orang tuanya dulu.
“Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, saya berharap perdamaian ini terus kita jaga, agar tidak ada lagi anak yang harus mewarisi luka dari perang, melainkan harapan untuk masa depan yang lebih baik,” ucapnya.
Sementara itu, perempuan penggerak kesehatan di Aceh Tamiang, Muhklifah, mengatakan 20 tahun perdamaian menurutnya adalah merdeka dan bebas dari bully, baik secara fisik maupun psikis. Seseorang akan dihargai tanpa melihat latar belakangnya dan mendapatkan respect dari semua pihak.
“Perdamaian yang sesungguhnya akan tercipta karena adanya rasa empati antara individu yang satu dengan yang lain. Merdeka adalah sesuatu yang dirasakan oleh jasmani dan damai adalah sesuatu yang dirasakan oleh hati. Perdamaian dan kemerdekaan adalah dua hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan,” ucapnya.
Lain halnya dengan tokoh komunitas perempuan di Pidie, Annisa. Dia merasakan kemerdekaan masih terbelenggu. Hidup merdeka, tapi Annisa masih seperti hidup di zaman penjajahan karena pendidikan, kebebasan berpendapat, dan keadilan hanya milik kalangan atas.
Demikian pula damai, yang menurutnya hanya tertulis di nota kesepakatan, tapi belum benar-benar dirasakan korban.
“Bedanya sekarang bisa beraktivitas dengan bebas ketimbang masa konflik, tapi keadilan bagi korban masih janji belaka. Padahal kita sudah terus menyuarakan, tapi tidak ada perubahan,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan Cut Ria dari komunitas keluarga penyintas kekerasan di Aceh Besar. Dia menyebutkan keadilan bagi para penyintas kekerasan hingga 20 tahun perdamaian belum tuntas.
“Sebagai keluarga penyintas dan paralegal komunitas, saya menegaskan perdamaian sejati tidak cukup hanya tanpa senjata, tapi harus hadir dengan kebenaran, pemulihan, dan pengakuan. Kami tidak menuntut balas, kami menuntut keadilan,” tegasnya.
Di sisi lain, korban konflik dari Aceh Utara, Khuzaimah, mengatakan perempuan korban konflik di Aceh membutuhkan beberapa perubahan penting untuk memulihkan diri dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Beberapa yang harus menjadi perhatian penting dan dipenuhi meliputi pemulihan trauma perempuan korban konflik.
“Termasuk akses ke layanan kesehatan mental dan layanan dasar. Proses hukum yang adil dan transparan terhadap pelaku kekerasan, partisipasi dalam proses pembangunan, serta pengakuan dan penghargaan atas pengalaman dan kontribusi mereka dalam proses perdamaian,” sebutnya.
Sementara itu, salah satu tuha peut perempuan di Banda Aceh, Mainar, mengungkapkan perdamaian tercapai saat terjadinya tsunami Aceh. Selama perdamaian, perempuan sudah bisa keluar malam dan tidak ada ketakutan lagi bagi perempuan.
Pun demikian, Ketua Forum Komunitas Akar Rumput (FKPAR) Aceh, Zahruna, menekankan bahwa tanggung jawab membangun Aceh masih berlanjut. Saat ini tugas semua pihak untuk menjaga perdamaian agar perempuan terbebas dari kemiskinan dan penindasan, serta mudah mengakses pendidikan.
“Itu arti merdeka bagi perempuan,” kata Zahruna.
Sementara Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mendorong pengarusutamaan agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan (WPS) dalam pembangunan Aceh yang berbasis kekhususan dan keistimewaan. Hal ini sejalan dengan Maqashid Syariah dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325.
“Kami menekankan pentingnya peningkatan partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan yang responsif gender dan inklusif di seluruh kabupaten/kota, serta penguatan sistem data terpilah dan pemantauan berbasis bukti agar capaian keadilan gender dapat diukur secara berkala,” jelasnya.
Riswati mengatakan prinsip GEDSI dan pemenuhan hak anak harus diintegrasikan di semua sektor, khususnya enam urusan wajib layanan dasar. Mendukung pencapaian SDGs, terutama “Tujuan 5” tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Dia juga mendorong penguatan kapasitas institusi pemerintah dan non-pemerintah serta optimalisasi Alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) untuk mendukung kegiatan strategis, pemberdayaan perempuan, dan pencegahan diskriminasi maupun kekerasan berbasis gender.
“Dengan langkah-langkah ini, Aceh dapat membangun masa depan yang adil, setara, dan inklusif bagi semua,” tutupnya.***






