Banda Aceh– Ulama Muda Aceh, Ustadz Masrul Aidi Lc, menyentil sejumlah pihak yang kini tiba-tiba muncul bersuara lantang terkait isu lepasnya empat pulau Aceh yang sekarang masuk ke wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Ia menyebut mereka sebagai “pahlawan kesiangan” atau late hero—mereka yang baru bersuara ketika masalah sudah terjadi dan membesar.
Ustadz Masrul Aidi yang merupakan Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keu’eng Aceh Besar ini, menumpahkan kegelisahannya atas reaksi sejumlah pihak terkait sengketa empat pulau yang diduga lepas dari Aceh.
Dalam unggahan yang ditulis di akun media sosial Instagram dan Facebook-nya, Ustadz Masrul Aidi menyindir tajam mereka yang baru bersuara sekarang, setelah semuanya terlambat.
Baca Juga: Dilaporkan ke Polda, Rektor USK Klarifikasi Pengadaan Gedung FKIP
“Pahlawan kesiangan… ketika dulu ada peluang menentukan jalan sendiri, malah berlomba-lomba bergabung dengan RI. Sekarang, setelah pulau hilang, baru ribut,” kata Ustadz Masrul Aidi dalam unggahan di media sosial Instagram, yang dikutip, Ahad (15/6/2025).
Menurutnya, sikap inkonsisten ini terus berulang. Saat Provinsi Aceh secara administratif dihubungkan ke Sumatera Utara, tidak ada reaksi keras.
Tapi ketika persoalan pulau yang hilang mencuat, barulah muncul semangat berapi-api membela Aceh.
Masrul mengingatkan bahwa ini bukan pertama kalinya Aceh kehilangan momen. Ketika Aceh terkena bencana tsunami 2004, seluruh dunia menaruh perhatian dan bantuan besar-besaran mengalir.
Tapi menurutnya, tak ada upaya serius menata ruang dan wilayah secara strategis.
“Ketika tsunami melanda, momen emas untuk menata ulang wilayah Aceh justru disia-siakan. Bantuan rekonstruksi besar-besaran tidak diarahkan untuk penataan ruang dan wilayah yang matang.
Rekonstruksi seharusnya bukan hanya bangun jalan dan rumah, tapi juga memperkuat fondasi wilayah Aceh. Tapi siapa yang peduli soal itu?” tanyanya.
Lebih lanjut, ia menyentil masa-masa perdamaian. Ketika senjata eks kombatan dilucuti, banyak poin dalam perjanjian Helsinki belum dijalankan.
Saat Presiden SBY membuka ruang selebar-lebarnya untuk Aceh meminta apa pun—asal bukan merdeka—tidak ada langkah konkret dari elite Aceh kala itu.
“Waktu itu, semua diam. Tak ada satu pun proposal strategis yang diajukan. Padahal itu momen emas,” tegasnya.
Ia juga mengkritik pengelolaan dana otonomi khusus (Otsus) yang nilainya mencapai triliunan rupiah, habis begitu saja. Alih-alih digunakan untuk pembangunan berkelanjutan, dana itu, menurutnya, justru habis untuk memperkaya segelintir orang.
Seandainya dana Otsus digunakan untuk membangun infrastruktur strategis seperti jalan tol, masyarakat Aceh hingga anak cucu bisa menikmati hasilnya. Tapi apa yang didapat hari ini?.
“Andaikan dana Otsus digunakan untuk membangun jalan tol, sekarang anak cucu kita bisa menikmatinya. Tapi kenyataannya? Habis untuk proyek-proyek tak jelas, menguntungkan keluarga dan kroni,” ucapnya tegas.
Pernyataan Masrul ini menjadi pengingat bahwa isu hilangnya pulau bukan hanya soal teritorial, tapi juga soal kepemimpinan, ketegasan, dan visi jangka panjang yang selama ini absen di Aceh.